Tuesday, April 3, 2012

ngeri

Saya akan menuliskannya, sesingkat-singkatnya.

Asumsikan: jika rata-rata kenaikan minyak mentah Indonesia (ICP-Indonesian Crude Price) naik 15% dari asumsi APBN, pada enam bulan terakhir. Maka, BBM bersubsidi akan naik.

Asumsikan lagi: jika enam bulan itu jatuh pada Bulan Juni. Maka, kenaikan BBM bersubsidi akan dieksekusi pada Bulan Juli.

Tahukah Anda, jika Bulan Juli-Agustus 2012 ada Ramadhan dan Idul Fitri?

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa memasuki Ramadhan dan Idul Fitri harga barang-barang selalu naik.

Tahukah Anda (lagi), jika saat ini pun, akibat ribut-ribut rencana kenaikan BBM bersubsidi –meskipun akhirnya ditunda-sudah menyebabkan harga barang-barang naik (duluan) ?

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa harga yang sudah naik, susah sekali turunnya.

Maka, sepertinya saya tidak perlu menuliskannya secara panjang lebar seandainya terjadi intersection antara asumsi-asumsi diatas dalam bentuk kenyataan.

Ngeri(!)

Semoga ada empati untuk mereka, rakyat kecil yang berusaha dengan sepenuh hati dan tenaga. Semoga empati itu tidak diringkus oleh wacana dan kebijakan dari elite politik yang tidak produktif: nir-nurani dan (hanya untuk) pencitraan belaka.

Sunday, April 1, 2012

malu

Kebijaksanaan mengajarkan kepadaku bahwa amarah itu seperti bara api. Ia siap membakar, tak hanya orang lain, namun juga diri sendiri. Tidak akan ada yang diuntungkan.

”Ya Allah, berikanlah aku kesabaran. Jauhkan aku dari amarah ini,”. Malam ini, aku kembali menengadahkan tanganku pada-Nya, karena aku tahu: Allah Yang Maha Sabar selalu menyiapkan dirinya untuk menerima jiwa-jiwa yang dilanda amarah.

Aku malu. Kebijaksanaan mengajarkanku dua hal tentang kesalahan. Kesalahan itu perlu dan boleh, namun dengan syarat. Pertama, itu adalah kesalahan baru. Kedua, kamu mengambil pelajaran dari kesalahan itu.

Aku lupa. Lalai. Amarah menguasaiku. Membawaku pada sebuah kesalahan. Kesalahan yang menjadikanku berada dalam derajat yang lebih rendah dari keledai. Karena keledai pun tak terantuk untuk yang kedua kalinya.

Aku melakukan kesalahan yang sama. (Sungguh) aku malu.

Lelakiku dan Perempuanku (1)

jantung yang berdegup...
==

Part 1: Lelakiku…

Perkantoran & sebuah taman dengan air mancurnya

Lantai ini sudah mulai senyap. Hanya ada beberapa orang saja yang masih sibuk di depan komputernya. Aku sendiri baru keluar dari mushala kantor, maghriban. Timer di Handphone menunjukkan pukul 18.35 ketika tiba-tiba ada SMS masuk. “Ya Allah, dia!”. Perempuan yang mampu menggetarkan seluruh persendianku. Setelah sekian lama, dia kembali mengirimkan SMS, “Kamu masih di kantor? Aku di bawah, di depan air mancur. Mau ketemu tidak?” Tidak tahu mengapa, konsentrasiku hilang begitu saja. Jari yang sedang membetulkan tali sepatu pun bergetar. Shit, susah amat sih!” rutukku sambil masih berusaha mengikat sepatu. Selesai dengan sepatu, kesadaranku berangsur pulih kembali, kutekan menu reply,“Tunggu!”.

Semenit, dua menit aku memulihkan konsentrasi, membangun kesadaran. Sebentar aku mematut didepan kaca, meyakinkan diri bahwa penampilanku tidak akan mengecewakannya. Tapi, fiuh, rasa gugup masih terlihat jelas. Kuambil jaket, berharap bisa menutup gemuruh dadaku. Bergegas aku menuju lift. “Ya Allah, kenapa denganku. Kenapa aku jadi ga karuan seperti ini!” batinku selama di lift. Plak..! kupukul pelan wajahku sendiri, “Come on man, wake up!”.

Di depan air mancur, aku menebar pandangan. Memutari bundaran taman. Sekali, dua kali. Sosok itu masih belum juga kutemui. Orang-orang mulai memerhatikanku. Sepertinya jaketku tidak bisa menutupinya. Aura gugupku terlihat jelas. “Aduh, dia dimana ya?” kecemasan akan kegagalan pertemuan, seperti sebelum-sebelumnya, mulai membayang.

Sesaat kuhentikan pencarian. Kunyalakan rokok, mataku menatap langit berselimut mendung, mengharap ketenangan. Di tengah keputusasaan Handpone-ku berdering, “Ya Allah, dia!”. Hatiku bersorak, kuangkat telepon. Terdengar suara yang sangat kukenal dan selalu kunantikan, “Kamu dimana?”. “Aku udah di air mancur” ujarku, setelah sebelumnya menghirup napas dalam-dalam. Berharap tidak ada kegugupan dalam suaraku. “Ok, aku kesana!” tutupnya singkat, sekaligus menghentikan sejenak degup tak beraturan jantungku.

Kuhisap kembali rokokku yang tinggal separuh. Kuedarkan pandangan, dari arah selatan kulihat sosoknya. Berbalut kemeja putih bergaris dan jins biru, dia melambai ke arahku. “Ya Allah, dia begitu cantik, anggun, dan menenangkan. Masih seperti dulu”, ucapku dalam hati sambil membalas lambaian tangannya.

Taksampai sekedipan mata, sosoknya telah berdiri tepat di depanku. “Hai, apa kabar” ujarnya lembut sambil menjabat tanganku. “Baik”, jawabku singkat. “Kamu cantik banget!” ujarku spontan. “Eit, ingat, nggak boleh. Kita harus rasional” sahutnya lembut, mengingatkanku akan cerita bagaimana “percintaan kami” tidak bisa terwujudkan. Yach, kami harus sadar, realitas perbedaan diantara kami berdua begitu tebal. Meskipun abstrak, cinta harus tetap rasional, begitu keyakinan kami.

Obrolan ringan kami mengalir. Sesekali aku menangkap kerlip rindu di matanya. Kerlip yang, aku yakin, juga berpendar di mataku. Aku lebih banyak diam, menikmati setiap detik kebersamaan kami. Tak terasa sudah 20 menit, dan dia harus segera pulang. “Ada janji ama tukang ojek,” katanya santai seolah tidak memerdulikan perasaanku. Yach, tunggu lah, 5 menit lagi! Tak anterin wis!” rayuku yang masih segan berpisah. Dia hanya tersenyum, dan aku pun sadar. Dengan berat kuantarkan kepergiannya ke parkiran.

Benar, disana sudah berdiri Tukang Ojek-nya. Bapak tua berkopyah merah. “Saya nitip ya Pak, tolong hati-hati!” pesanku sambil menepuk pundaknya. Bapak tua itu tersenyum mengiyakan, seakan memahami sepenuhnya perasaanku. Perlahan dia naik ke sadel belakang. Bibirnya menguntai senyum, tangannya mengisyaratkan agar aku tetap keep in touch dengan SMS. Sambil mengangguk, aku tersenyum. Dan, perasaan kehilangan itu pun kembali mengoyak relung jiwaku, seiring deru motor tukang ojek yang meninggalkan parkiran.

to be continued…..