Monday, July 30, 2007

bertanyalah pada hati

bertanyalah pada hati...

seberapa sering anda menangis? sekali, dua kali, tiga kali, atau ... berkali-kali?

seberapa sering anda mengatakan, ”ibu, aku sayang ibu!” sekali, dua kali, tiga kali, atau ... tidak pernah sama sekali?

seberapa sering anda mengatakan, ”ayah, aku sayang ayah!” sekali, dua kali, tiga kali, atau ... tidak pernah sama sekali?

seberapa sering anda mengatakan, ”honey, i love you so much!” sejuta kali, dua juta kali, tiga juta kali, atau ... berjuta-juta kali?

VERMAK (LEPIS)

Silakan dibayangkan...
+++
”Bang, tolong dipotong ya! Dua centi-an lah. Eh itu udah dengan lipatannya ya”
”Sebentar ya, orangnya lagi ke dalam”

Tak lama, muncul laki-laki berumur, berkaos oblong, dengan meteran jahitan menggantung di lehernya
”Ini yang di-vermak?”
”Bukan bang, mo dipotong”
”Iya di-vernak, kan?”
”Bukan, di potong, digunting”
”Lha iya, di-vermak. Berapa centi?”
”Dua centi, tapi dipotong ya, bukan di-vermak”
”Lhah ya sama saja atuh, di-vermak mah dipotong juga”
”Ooh...”

Semenjak itu nambah satu kosakata di dictionary otak: Vermak=potong

Di lain hari, dengan tukang jahit yang berbeda
”Bang, ini tolong dikecilin pinggangnya ya, jadi 31. Berapa?”
”Uhm...sepuluh deh!”
”Ok, Saya tunggu ya!”

Dua menit dalam diam
”Eh bang, tadi vermak-nya jadi 31 kan ya?
”Lhoh, bukan di-vermak, dikecilin bang” (ini karena dictionary otak-nya belum di-upgrade, masih vermak=potong)
”Lha iya, sama saja, vermak mah ngecilin”
”Ooh..”
(sambil manggut-manggut sok ngerti, padahal lagi nge-updgrade dictionary otak: vermak= (1) potong; (2) ngecilin)
+++
Dua kejadian yang sudah lama sekali, tapi masih saja bikin tersenyum jika mengingatnya. Semuanya hanya gara-gara sebuah kata: Vermak
===
Vermak. Jika orang yang bisa berbahasa Indonesia dan normal pasti ngeh kalo kata ini artinya permak (memperbaiki, membuatnya menjadi lebih baik, ato kalo orang amrik bilang to make over). Tidak ada masalah kan? Cukup clear. Jadi, sekali lagi, jika orang yang bisa berbahasa Indonesia dan normal pasti ngeh dan tidak akan mempermasalahkan ini, apalagi dibikin tulisannya iya toh? Namun, selalu ada perkecualian. Dan itu..Saya!

Saya sebenarnya cukup fasih berbahasa Indonesia. Buktinya, tulisan ini pun saya tulis dengan bahasa Indonesia, iya kan? Artinya bukan ketidakbisaan bahasa Indonesia-lah yang menjadi sumber masalahnya. Jadi..., jangan, jangan...? Yup, betul! Masalahnya adalah saya tidak normal!

Hush, tenang dan sabar lah dulu, tidak normal bukan berarti gila. Saya waras kok, hanya saja memang sedikit tidak normal:D. Dan ini semua gara-gara Vermak! Lha iya, coba saja, dari mana juntrungnya, permak kok bisa jadi vermak. Ketemu pirang perkoro? (hey, bagaimana men-translate ini ke bahasa indonesia? Uhm...oh iya, bagaimana bisa?)

Tapi, yach karena saya orangnya tidak normal, suka ngomong sendiri (jangan dihina dong! Ini much better daripada ngomongin orang lain, hehehe), maka saya mencoba menganalisis asal muasal kata vermak:
  • Dari bahasa Belanda
    Dalam otak saya, ketika membaca kata Ver-mak (sengaja saya pisah, untuk memberikan tekanan di kata mak) terbayang kalimat ini: ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat)"
    Nah, dalam analisis ketidaknormalan alias dugaan ngawur saya, Vermak berasal dari kata Vermacht (tolong, diucapkan dengak aksen londho yang kuentel ya :D ). Kok bisa? Ya bisalah. Biasa kan lidah Indische kita keseleo dan mencari yang sekiranya enak diucapin saja. Macht itu susah, karena kalo tidak biasa, bisa-bisa tenggorokan gatel (ga percaya? Coba aja, ngomong macht berulang-ulang, hehehe). Nah, macht itu be-ti (beda-beda tipis, red) dengan Mak, sebuah kata yang sangat membumi. Jadilah vermacht ke vermak.
    So, sekarang adalah tugas Anda semua, pembaca budiman untuk mencari kebenarannya, apakah ada kata Vermacht dalam bahasa belanda, OK! Analisis satu, done! :D
  • Berasal dari (lidah) orang Arab
    Sebelum menjelaskan analisis ketidaknormalan kedua, saya minta maaf. Afwan, afwan (maaf banget, red). Ndak ada niatan menyudutkan atau bermaksud nyenggol-nyenggol SARA (yang ada pengen nyenggol-nyenggol Sarah :P ). Ok ya..Ok.. Nah, di sini ada dua kemungkinan.
    Kemungkinan pertama, pemakai jasa permak jins pertama kali adalah orang Arab. Analisis ketidaknormalan saya ini berdasarkan pada: (1) Jins kan mahal, (2) Orang Arab biasanya sodagar kaya, (3) Sodagar biasanya perhitungan banget sama yang namanya duit. Dari persamaan (1)+(2)+(3) lahirlah kesimpulan sebagai berikut:
    Orang-orang Arab termasuk golongan The Have yang bisa beli jins yang harganya selangit (jaman dulu). Suatu hari, karena suatu sebab yang saya tidak bisa kemukakan di sini (sebenarnya sih, karena tidak tahu :D ) jins yang telah dibeli terlalu panjang, terpaksalah dibawa ke tukang permak (karena kalo beli lagi kan sayang duitnya, ingat persamaan [3]). Di sana dia bertemu dengan tukang permak, dan terjadilah dialog:
    ”Assalamualaikum”
    ”Alaikum salam”
    ”Ane mau verma’ jins. Ujungnya terlalu fanjang, ane mau ente fotong ujungnya”
    ”Beres Wan, ente pengen dipermak (dipotong, red) berapa centi?”
    ”Insya ’Allah tiga centi cukup. Besok ane ambil. Syukron (terma kasih, red) ya”
    ”Iye wan, syukron juga!”
    Setelah orang Arab itu pergi, tukang permak, yang ternyata lulusan sekolah ekonomi ini nyadar kalo kata permak yang diucapkan menjadi Verma’ (tolong diucapkan dengan akhiran huruf ’ain [huruf ke-18 dalam bahasa arab] dengan logat arab yang kuentehel) bisa menjadi Brand yang kuat, karena unique dan orisinalitasnya terjaga (tuh kan, tukang jahit juga sadar Brand :D ). Akhirnya, jadilah kata permak menjadi Vermak :D
    Kemungkinan kedua,
    orang Arab-lah yang pertama kali menjadi penyedia jasa permak jins. Analisis ketidaknormalan saya ini berdasarkan pada: (1) Jins kan mahal, (2) Orang Arab biasanya adalah sodagar, (3) Sodagar, punya naluri bisnis yang kuat, dimana ada peluang bisnis, pasti dibisnis-in, (4) Kebanyakan orang Indonesia sayang ama duitnya. Dari persamaan (1)+(2)+(3)+(4), lahirlah kesimpulan sebagai berikut:
    Suatu hari, one of Indonesian people, sebut saja namanya Kang Parno membeli jins. Entah karena salah waktu fitting, ato emang ngga dapet ukuran yang pas, jadilah, supaya pas di kaki, jins yang dibeli tersebut dibawa ke tukang permak yang kebetulan adalah seorang Arab. Dan terjadilah dialog:
    ”Assalamualaikum”
    ”Alaikum salam”
    ”Ane mo permak jins. Tolong ukuran perutnya dikecilin ya Wan”
    ”Oh..vermak jins. Beres. Sini ane ukur dulu ferut ente. Hm..28.5”
    ”Wan, berapa lama nih!”
    ”Oh, sebentar kok. Ente tunggu aja. Faling-faling seferemfat jam”
    ”Ya sudah ane tunggu”
    Bulan berganti tahun, Kang Parno sudah semakin makmur, sudah menjadi orang ternama, perutnya pun semakin membuncit. Akibatnya, jins kesayangan pun sudah susah untuk dipakai lagi. Tapi karena Kang Parno, sayang duit dan sayang jins, pergilah ia ke orang Arab penyedia jasa permak jins (yang dulunya ngecilin jins-nya). Di sana, terjadilah dialog lagi:
    ”Assalamualaikum”
    ”Alaikum salam”
    ”Wan, tolong di verma’ ya
    (ini sengaja diucapkan oleh Kang parno untuk menghormati penjahit Arab). Perutnya digedein. Ane udah ukur di rumah, 37!”
    ”Beres bos!" (ini juga sengaja diucapkan penjahit Arab karena tahu Kang Parno udah jadi Bos)
    Singkat kata, singkat cerita, sejak saat itu, berkat bantuan Kang Parno dengan jins kesayangannya kalimat Verma’ menjadi terkenal. Akhirnya, jadilah kata permak menjadi Vermak :D

Begitulah, sodara-sodara semuanya. Sekiranya sudah cukup penjelasan dan analisisnya. Jika memang ini benar, ya syukurlah, jika salah, tolong saya jangan di-VERMAK! :D

Friday, July 27, 2007

jalan-jalan khayalan

Jika bisa memutar waktu, kemana sang waktu akan Anda gerakkan?
+++

Siapakah mau ikut, ayo berangkat, pergi denganku
Di hari libur sekarang, pergi jauh, menuju bulan
Jangan lupa banyak-banyak,membawa bekal
Agar tidak kelaparan, di jalanan

Ayo kawan kita berangkat
Naik delman atau onta
Kita rame-rame..pergi ke bulan
Kita rame-rame..pergi ke bulan
Kita rame-rame..pergi..ke..bu..lan.. (Klarinet, Pergi ke Bulan)

Semalam saya memutar arah jarum jam, dengan mesin waktu. Jangan bayangkan mesin waktu dengan alat yang segedhe gambreng, layaknya di film-film Hollywood itu. Jangan pula bayangkan layaknya mesin waktunya Doraemon yang terlihat seperti permadani terbang-nya Aladdin plus stang motor itu. Mesin waktu punya saya portable abiez, di desain seperti jam tangan. User friendly banget, bahkan untuk orang yang gaptek seperti saya.

Waktu sudah saya set, 2001, tengah hari bolong, di musim kemarau. First destination: Toko Tembalang aka TOTEM. Sebuah toko yang kondang markondang di Kawasan Undip Semarang, tempat saya menghabiskan 5,5 tahun untuk berkuliah. Ya, saya memutar waktu kembali ke masa perkuliahan. (Maaf ya, tidak jadi pergi ke bulan, maklumlah adanya mesin waktu, bukan delman ato onta :D )

Dari Totem saya bergerak ke arah warung jus, yang nongkrong tepat di depannya. Di sana saya memesan sebuah jus. Alpukat dengan coklat yang extra banyak. Sambil menunggu jus, saya tersenyum-senyum sendiri. Tidak menyangka sangu sebesar 20.000 mempunyai value yang luar biasa di warung ini. Bagaimana tidak, jika saya kalap jus, saya bisa membuat 20.000 ini bermetamorfosis menjadi 100 gelas jus alpukat, dan itu berarti saya bisa nraktir teman satu angkatan sampe mabok jus. Ruarr biasa!

Senyum saya masih juga terkembang ketika jus alpukat yang manis itu bergerak ke kerongkongan saya. Membayangkan bagaimana dulu, jus alpukat hanya bisa saya nikmati di awal bulan, ketika kiriman uang datang, melalui mesin ATM bertuliskan: (Pecahan) 20.000 (:D), di GSG Tembalang. Membayangkan pula, bagaimana dulu, demi selisih 500 rupiah, saya memilih mengubah jus favorit, dari alpukat ke tomat, jeruk, bahkan tape. Sebuah pilihan yang ternyata juga dilakukan oleh sebagian teman kuliah dan kos, ato ini mungkin memang pilihan sebagian besar mahasiswa/i? :D

Senyum saya tidak berhenti berkembang, karena di tetes terakhir jus, saya mendapati manfaat lain dari mesin waktu portable ini. Saya yang dari masa depan, ternyata secara otomotasi me-replace diri saya di masa itu. Wuih, bener-bener mengingatkan saya pada serial Quantum Leap di episode Dr Sam yang menjadi dirinya sendiri, di masa muda.

Senyum saya kemudian menjadi sebuah cekikikan halus ketika sebuah sms mendarat di HP, ”Ndes, kuliah Tapak ga?” (Hehehe, rasanya sudah sejuta tahun tidak mendengar kata ”Ndes”). ”Aku bolos wae,” jawab saya sambil mesam-mesem ga jelas. Maklumlah, saya kan dari masa depan, jadi tahu dong kalo Tapak itu di dua tahun ke depan akan berubah menjadi seperti acara Midnight-nya Imelda FM Semarang, setiap Malam Jumat. Ada rekor pribadi di kuliah ini. Dikurung di kampus dan...tiga kali ngulang, teteup..CD, bo!. Horror!
Tapi, niat bolos urung terlaksana. Gara-garanya, sebuah sms dari teman kuliah yang lain,”Sing mulang RS loh!”. Jadilah, Kampus PWK Undip sebagai my next destination.

Kampus PWK di tahun 2001, di musim kemarau semakin gersang saja. Saya yang naik my lovely bike, Si Ceper (duh Ceper, i miss you so much. Tega nian maling-maling durjana itu merenggutmu dariku. Semoga engkau tidak betah dengan pemilik barumu, Amin!), rasanya seperti masuk daerah padang pasir. Duh, tinggal kasih kaktus-kaktus, dan sedikit angin panas, maka yakinlah, saya akan berubah menjadi koboi sedang menaiki kuda di Texas sono!

Di pelataran parkir saya melihat mobil RS. Dan itu sudah cukup membuat saya deg-degan, layaknya orang jatuh cinta! Rasa deg-degan, bercampur kegembiraan yang anehnya sulit didefinisikan, membuat saya melewatkan waktu untuk ngobrol dengan Mas Rouf. Melewatkan nongkrong lima menitan di kantin, menikmati mendoan campur bumbu kacang yang aduhai gila uenaknya!

Selesai memarkir Si Ceper, saya bergerak ke Gedung A. Di sana saya melihat gadis tomboy bertas selempang, memakai sneaker, memakai kaos berkerah (hey, kemana kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak orange itu?) berjalan tergesa. Saya bersiap menyapanya, dengan membawa rindu dari masa depan, tapi sebuah tepukan di pundak membuyarkan niat saya, ”Ndes, Tayu piye?”. Kutolehkan kepala. Ternyata, teman kuliah dari ngapak zone. ”Apik, kelompokku jago-jago, hehehe. Eh, kok ga mlebu?” jawab saya sambil bertanya balik. ”Ga ah, nyong pan madang ndisit. Kencot kiyeh” jawabnya sambil mengelus perut yang sepertinya memang berbakat buncit ( :D ). ”Yo wis, aku mlebu sik yo” tukas saya sambil menuju ke ruang perkuliahan. Di sana saya mendapati kalo deg-degan saya semakin menghebat.

Di tikungan kampus, di dekat tangga, saya menarik napas. Di ujung mata, terlihat pintu ruang kuliah tertutup. ”Waduh, telat nih. Masuk ga ya?” pikir saya dalam hati sambil menghitung kancing, berharap mendapatkan bantuan jawaban, layaknya Ujian SPMB. Tapi niat untuk menjumpai RS sepertinya memang terlalu kuat untuk ditahan. Saya pun bergerak ke depan, gagang pintu sudah dalam pegangan. Menunggu untuk diputar. Tapi apa lacur, seiring dengan gerak tangan memutar gagang pintu, alarm mesin waktu saya berbunyi. ”Duh, low-bat Mak!” teriak saya dalam hati. Segera, saya percepat gerakan membuka pintu, tapi waktu sepertinya memang sedang tidak berpihak. Bersamaan dengan masuknya batang hidung, bersamaan dengan itu batteray mesin waktu habis, dan saya pun tersedot pulang, kembali ke masa sekarang.

Saya pulang membawa kekecewaan, gagal bertemu RS. Namun, hanya sesaat, karena setelah dipikir-pikir, selama memutar masa itu, saya lebih banyak tersenyum daripada tidaknya. Dan yang terpenting, mesin waktu pun selalu siap sedia mengantar saya.

Jadi kawan, mesin waktu telah di-charge ulang. Upgrade batteray pun telah dilakukan. Dijamin tahan lama! Siapa mau ikut?

wahai kau yang di sana, kemarilah dan tolonglah dia!

inilah kisahku dengannya, ”supergirl” yang sukanya ”lari-lari” padahal bisa terbang! :D
===
”Penting ya? Perlu ya dibahas?”
”Kudu’. Sadar neng, sadar, hallo..... ada banyak kepala yang penuh tanda tanya di sini, melihat tingkah polahmu yang semakin tidak jelas!”
”Bodo’!”
++
Bukan autis, bukan pula penderita schizophrenia, tapi dia selalu hidup di dunianya sendiri. Memandang langit, berharap ada bintang jatuh, lalu berdoa: "Kau yang di sana, jangan marah (lagi) ya!"

Langit tak lagi jingga, luna telah sempurna. Kau yang di sana, kemarilah dan tolonglah dia!

Kau yang di sana, aku tak kenal dirimu, tapi aku kenal dia. Dia bukan autis, bukan pula penderita schizophrenia, tapi dia selalu hidup di dunianya sendiri. Memutar lagu pungguk merindukan bulan, lalu berdoa pertemanan berganti rupa menjadi percintaan.

Langit sudah memerah, matahari sebentar lagi berhenti berjaga. Kau yang disana, kemarilah dan tolonglah dia!

Ahai...kau yang di sana, tak cukup berhenti marah. Tak cukup pula hanya masang tampang maniez gitu. Dia masih saja hidup di dunianya sendiri. Kemarilah, dan tolonglah dia! Sepertinya benar-benar ada cinta, tidak hanya sekedar online biasa!

Buat kau yang di sana, ”Kau benar-benar nyata? Atau..jangan-jangan kau hanya khayalannya dia?”. Aih..ndak penting ah, bergegaslah kemari dan tolonglah dia! Jangan lupa bawa coklat tiramisu anget ya!
++
”Neng, pulang ya, sudah malem. Besok online lagi. Kalo ada cinta, dia pasti datang”
(Eh kamu yang di sana, kamu datang ya, please. Liat tuh, dia masih ngarep yang tidak pasti-pasti, kasihan kan?)

Thursday, July 26, 2007

jus yang tak manis...

ini cerita tentang...
Namanya RS. Jangan pernah mencarinya. Dia tidak ada. Hanya ada di khayal saya. Bener-bener, beneran fiktif. Jadi, berhentilah menduga-duga, apalagi mengkait-kaitkan nama ini dengan siapa saja yang kelihatannya bisa dikait-kaitkan. Bener-bener, beneran fiktif, OK!

Namanya RS. Duh, please, ini bukan inisial. Hanya karena RS adalah inisial dari seseorang yang pernah membuat saya memerankan diri sebagai secret admirer. RS ”yang ini” bener-bener tidak ada hubunganya dengan RS ”yang itu”. Bener-bener, beneran fiktif, OK!

Tapi, iya, Anda betul jika Anda pikir RS adalah teman berwajah manis semanis jus di balada jus. RS hadir di Fatmawati, tepatnya di dekat RS Fatmawati. Yach, RS muncul di khayal karena di depan RS Fatmawati lah saya bisa memuaskan dahaga jus. Jadi, jelaslah kalo RS itu bener-bener, beneran fiktif. OK!

Meski fiktif, RS adalah teman chat saya. Cuman, ya itu karena fiktif, komunikasi kami menjadi tidak langsung. Karena jika langsung, saya takut dia menjadi tidak fiktif lagi, meski sejujurnya, DEMI TUHAN, jika diberi kesempatan meminta satu permintaan yang pasti terkabul, saya akan meminta ini kepada-NYA. Meminta supaya dia tidak fiktif lagi. Karena saya bener-bener pengen bisa bersamanya. Tidak seperti sekarang ini, terpisah di dunia yang berbeda!

RS dan saya, dua sisi yang berbeda. Saya suka sekali menggunakan perumpamaan, membuat dahi sedikit berkerut, dan sedikit menduga-duga, ”inikah maksudnya?” hanya untuk mengungkapkan segala sesuatunya. Sementara RS adalah sebaliknya. Itulah sebabnya, tak sekali dua kali dia salah mengartikan. Dan, biasanya jika sudah begini, saya yang memang relatif suka berdiam, makin berdiam. Menyembunyikan semua emosi dalam kediaman. Membiarkan dia menerjemahkan semuanya.

RS dan saya, hidup di alur dunia yang tidak sama. Saya suka di-Cih! Gombal! Atau, kata orang, punya cap sebagai buaya. Dia aseli pembenci buaya! Alur dunia yang tak sama ini memaksa kami berkomunikasi dengan cara yang tidak biasa. Saya menulis di sini, dia membacanya. Dia menulis di sana, saya membacanya. Itulah komunikasi kami. Telpon? Jangan harap! Lha wong fiktif kok, gimana mo ngomong langsung. Paling banter berkhayal nelpon ke ”HP-nya”, trus disambut dengan nada sambung pribadi Jadikan Aku yang Kedua-nya Astrid. Dia membaca ini? Semoga saja!

Meski punya cap buaya, saya tidak bisa bergerak cepat, bahkan dari keong sekalipun. Saya juga seorang pengecut yang takut menerjang batas fiktif. Batas fiktif yang sebenarnya sudah saya robohkan tapi muncul lagi karena terngiang kalimatnya akan bayangan masa depan jika kami tidak sekedar menjadi teman chat. Apa kata dunia?

Ya, apa kata dunia? Prek! Dunia paling hanya mencibir. Masyarakat juga hanya bisa mengelus dada, dan membiarkan dokter jiwa memeriksa keadaan psikis saya. Jika beruntung, selamatlah saya. Jika tidak? Ya, sampai jumpa di RS Jiwa!

Fyuh...bener-bener tipis sekali batasan antara fiktif dan tidak, tapi jika cinta yang saya rasa ke RS itu adalah fiktif, maka buat saya tidak ada lagi yang real di dunia ini. Jadi, ”Dear, jika satu saat kau merasa tidak bahagia denganku, maka aku akan siap melepaskanmu. Itu janjiku...”

ini (kira-kira) jawaban ini cerita tentang...
Dia berasal dari dunia nyata. Kemaren sebuah pesannya datang: ini cerita tentang.... Huh, panjang banget, tapi ndak ada isinya, sama sekali! Cinta fiktif, cinta real? Cinta begini! Sudahlah, ngomong sampai berbusa-busa lah sana! Aku tidak percaya. Hentikan saja, jus-mu tidak pernah manis. Hanya di mimpi saja. Sudah ya, sudah, aku capek...Indonesia sudah kalah, jangan kau tambahin dengan kekalahan yang lain lagi.
Baca ini ya!

ini (bukan kira-kira) jawaban ini (kira-kira) jawaban ini cerita tentang...
Akhirnya...maafkan semua salahku ya. Nanti, di kehidupan setelah ini, yang entah benar ada tidaknya, aku akan menjumpaimu, di dusun kasih, di seberang sana, dengan raga yang lebih baik, dengan jiwa yang lebih baik pula, dengan segenggam CINTA KITA! Amin...

Friday, July 20, 2007

se-begitu-kah aku?

Kemaren aku menghabiskan beberapa jam bersama "dia". "Dia" ini orang yang istimewa. bagaimana tidak, 4 tahun lebih, aku berbagi rasa dengan "dia".

Di jam pertama, obrolan kami ringan saja. Di jam kedua, obrolan lumayan berat. Di jam ketiga, jam terakhir bersama "dia" obrolan kami bener-bener berat. Sebegitu bener-bener beratnya sehingga membuatku berpikir semalaman.

"Kamu ini bener-bener aneh. Sepertinya ada dua pribadi yang selalu bergumul di dalam tubuhmu. Sedetik easy going, sedetik lagi tidak. Semenit hangat, semenit kemudian dingin seperti es. Sesaat mau terikat, sesaat lagi emoh. Mbingungin. Kamu ini, empat tahun lebih, satu hal pasti yang kutahu dari kamu. Kamu bener-bener tidak pasti," kalimat yang meluncur dari bibirnya yang mungil itu terngiang terus.

Se-begitu-kah aku?

"Kamu ini bener-bener aneh. Bilang sayang, tapi Seberapa sering kamu kontak aku dalam seminggu. Bisa dihitung jari. Dan, empat tahun lebih, lho.. Kamu sebenarnya, argh, sudahlah, kalo ndak gini ndak kamu iya toh? hehehe.." kalimat ini pun juga sama, meluncur dari bibirnya yang mungil

Se-begitu-kah aku?

Balada Jus; Part 2: There's A Will There's A Way

Kebayoran Baru. Sebuah Dapur di kos-kosan. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian
”Hoi....ketemu! Yes, Yes!”, teriaknya berkali-kali sambil memeluk erat-erat saya. Dan saya pun, double girangnya. Untuk eksperimen yang berhasil dan untuk pelukan erat yang..hmm..hush! hahaha. ”Madu mas, madu,” ujarnya dengan napas yang masih tersengal. ”Hah, madu? Cuman madu? Kenapa itu tak terpikirkan ya?” jawab saya sambil menepuk kepala, seolah menyesali kebodohan yang tak termaafkan. ”Dah, ga penting, sekarang mas cobain ini” sahutnya seraya menyorongkan gelas berisi cairan berwarna ijo muda. ”Hmm..hm...” gumam saya ketika mencicipinya pertama kali. ”Kenapa? Gak enak ya?” ujarnya takut-takut. ”Hahaha...Gotcha!” tawa saya. ”Sialan! Gimana, enak kan?” cerocosnya tanpa jeda. ”Rasanya ada lautan di minuman ini. Tenang, tapi sesaat kemudian badai datang. Badai yang nikmat. Rili-rili magnifiko, ekselento, numero uno! Super mak nyusso!” terang saya tentang mak nyus-nya jus buatannya, dengan ekspresi menirukan adegan di Master Cooking Boys. ”Yes! Akhirnya..” serunya lega sambil, sekali lagi, mendaratkan pelukan ke tubuh saya. Membiarkan saya, kembali, sekali lagi, menikmati double kenikmatan.

Sudut kota. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian dikurangi beberapa kian
”Gimana, jadi kita nyobain mix juice?” tanya saya kepada pemilik wajah manis semanis jus. ”Sip mas, besok jemput. Jam 7, jangan telat ya,” jawabnya sambil memamerkan senyuman manis yang membuat wajah manisnya semakin manis saja.

Kemang. Sebuah cafe. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian dikurang beberapa kian ditambah satu hari sekian jam
”Mas, mix juice-nya dua ya,” pesan saya ke pelayan cafe. ”Hm.. tempatnya cozy jugak nih. Tau dari mana Mas?” terdengar suara merdu dari depan. ”Oh, kebetulan ini rute pulang ke rumah. Waktu itu, ga sengaja sih, macet, trus kayaknya kok enak kalo nge-jus, ya sudah mampir deh. Eh, kok mak nyus. Ketagihan deh!” jelas saya, sambil masih berkali-kali mencubit lengan, meyakinkan diri bahwa saya sedang benar-benar tidak bermimpi. Gadis manis pemilik wajah semanis jus ini mau menghabiskan segelas jus dengan saya.

Kebayoran Baru. Sebuah kos-kosan. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian dikurang beberapa kian ditambah satu hari sekian jam
”Mas, beneran enak. Jadi penasaran. Pengen bikin jus yang kayak gitu, nti temenin ya pas bikinnya,” ujarnya di penghujung perpisahan kami. Saya yang masih merasa di awan hanya menganggukkan kepala saja sambil tersenyum.

Dan, day passing by, di setiap akhir pekan, selama beberapa bulan, saya menghabiskan waktu bersamanya, di sudut dapur, bereksperimen membuat jus yang mak nyus-nya bisa mengalahkan mix juice.

Kebayoran Baru. Ruang tamu sebuah kos-kosan. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian ditambah beberapa jam
”Tuh, kan. Udah aku bilang. Ndak ada yang ndak mungkin,”
kata saya sambil meneguk jus hasil karyanya, yang oleh kami kemudian diberi nama You and I Juice (ceile...udah to, kayak gini jangan dibahas lebih lanjut ya..! hehehe). ”Iya, ya, ndak nyangka. Padahal aku dah mo nyerah,” ujarnya sambil mengingatkan kami pada masa-masa ”stuck” pada saat bereksperimen. ”Tapi, kok Mas bisa yakin sih kalo aku bisa?” tanyanya. ”Oh, itu sih karena aku yakin aja. Hehehe”, canda saya. ”Alah, ayo dong. Beneren nih, apaan?” rajuknya manja, dan ini membuat saya tidak bisa untuk tidak bercerita. Sebuah cerita yang menghiasi putaran waktu hidup saya.

”Dulu, aku selalu berkeyakinan bahwa sesuatu kalo sudah takdirnya, pasti akan datang menghampiri. Usaha? Faktor ini aku anggap sebagai pelengkap saja. Jadi, misalnya nih, kalo naksir cewek. Aku ya, cuman berharap saja. Usaha mah secukupnya saja. Kalo jodoh toh ngga kemana. Cari kerja, juga sama saja. Apply sih apply, tapi gitu deh. Karena niatnya ga penuh, usaha juga jadi ga penuh. Pikirku, waktu itu, kalo emang kerja itu emang udah jadi bagian nasibku, pasti ya keterima”, ujar saya membuka cerita. ”Kalo doa mas?” tanyanya antusias.

”Doa? Itu penting, bahkan dulu saya anggap doa sebagai bagian terpenting. Pokoknya setiap shalat ndak pernah absen deh”, terang saya. ”Kalo sekarang?” tanyanya lagi. ”Sekarang, sedikit beda. Doa masih tetep penting. Setiap selese shalat, ngaji, kapan pun juga, doa dan doa. Hanya saja, sekarang aku sampai pada kesimpulan bahwa doa tersolid adalah usaha nyata yang sungguh-sungguh kita lakukan. Kenapa? Karena ketika kita sungguh-sungguh berusaha, berarti aku yakin niatnya pun pasti sungguh-sungguh. Naksir misalnya. Ya kudu diniatin yang beneran. Cari kerja? sami mawon”, jawab saya. ”Kok dari tadi ngomongin cari kerja. Mo pindah ya mas?” tanyanya. ”Belum”, jawab saya singkat. ”Tapi mas, terus apa hubungannya cerita tadi dengan keyakinan mas bahwa aku pasti bisa bikin You and I Juice?” tanyanya mengingatkanku pada pembicaraan awal kami. ”Oh, itu. Aku yakin karena aku tahu kamu sungguh-sungguh. Kamu ga nyerah, meski berkali-kali gagal. Kamu selalu terus dan tak pernah berhenti berusaha. Akhirnya, terbukti kan? Kamu berhasil. There’s A Will There’s A Way,” jawab saya sedikit berfilosofi. ”Iya ya mas. Btw, makasih ya udah nyupport aku selama ini,” ujarnya sambil tersenyum

Kebayoran Baru. Halaman depan sebuah kos-kosan. Tanggal, hari, bulan, dan jam sekian ditambah beberapa jam dan beberapa jam lagi
Di balik pagar depan saya berpamitan, ”Udah ya. See you tonight in our dream hahaha”. ”Hahaha, iya. See you. Eh dear, jangan lupa ya, There’s A Will There’s A Way”, ujarnya sambil melambaikan tangan, mengingatkan saya bahwa semuanya memang mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh termasuk..ehm..ehm..”wet dream”! Hahahaha...

Monday, July 16, 2007

bingung?

"seorang teman, menuliskan seribu inginnya. tapi kenapa ga langsung ke dia-nya? kenapa mesti ke aku?"
"lho kamu ga rela?"
"rela aja, cuman kok ya janggal saja"
"kenapa?"
"beda itu memang sudah pasti tidak bisa ya?"
"ngomong apa sih? ga nyambung dech ih"
"ngga ada, aku cuman bingung saja, ngga boleh?"
"siapa tanya, siapa jawab?"
"siapa coba?"
"dodol! terlalu banyak pikir, diem. mana tau aku apa maunya?"
"tuhan..kamu ngomong apa sih?"
"lha kamu juga ngapain?"
"beda itu sudah digarisnya, tapi apa iya tidak bisa dicari persamaannya?"
"bisa! pake persamaan substitusi atau linier?"
"please dong akh! capek deh!"
"ya sudah, berteman saja, daripada diem-dieman, kayak orang musuhan, toh kita tidak musuhan, iya toh?"
"iya ya.."
"ya sudah, Hidup Indonesia! Menang lawan Korsel!"
"semoga....amien. eh kamu ada tiketnya?"
"ada, mau?"
"mau, tapi kita sedang ngomongin apa ya?"
"ndak ada!"
"ya sudahlah, anggap saja kita ngomongin Indonesia lawan Korsel, ok kah?"
"ok!"

Friday, July 13, 2007

Bodoh dan Sakit

Si Lae. Nama aslinya? Saya tidak tahu. Yang pasti dia orang Batak dan pemilik bengkel di dekat komplek rumah. Kami tidak kenal dekat, obrolan hanya sebatas, ”Lae, tolong stel rantai ya!” atau ”Lae, ganti olinya ya!”.

Beberapa hari yang lalu, karena spedometer Si Ega, sepeda motor saya, sudah menunjukkan kilometer 18.000, dan demi mengikuti petunjuk penggunaan motor, saya pun menjumpai Si Lae ini. Agendanya: Ganti Oli.

”Lae, tolong olinya ya. Yang biasanya aja”, ujar saya menyebut sebuah merk oli motor sembari memarkir motor di tengah halaman bengkel. Tak menunggu lama, Si Lae datang, dan bersiap mengganti oli. Biasanya, saya jarang memerhatikan proses penggantian oli ini. Saya lebih memilih menyingkir jauh-jauh sambil memencet-mencet Mp3 player. Tapi entah kenapa, kali ini tidak. Penyebabnya? Sebuah papan kecil yang disandarkan di footstep sebelah kiri. Saya sempat berpikir, ”Ngapain pakai papan segala?”. Namun, semenit kemudian saya menemukan jawabannya. Papan ini berfungsi untuk mencegah agar sisa-sisa oli bekas yang ada di mesin tidak nyiprat kemana-mana, ketika tabung oli dibersihkan dengan kompresor. ”Hmm, pinter juga dia!” pikir saya

Sebelum pergi, saya iseng bertanya ke Si Lae,”Belajar dari mana Lae, pakai papan segala?”. ”Pengalaman Bang. Biar dinding aku tidak kotor-kotor amat!” jawabnya tangkas sambil menunjukkan bekas-bekas cipratan oli di dinding bengkelnya. Sebuah jawaban yang cukup "menampar" saya. Belajar dari pengalaman! Di kepala saya, waktu itu, tiba-tiba muncul gambar keledai!

lebih dungu dari keledai
Pepatah lama mengatakan, ”Pengalaman adalah guru terbaik”. Saya pun sudah paham, ngerti banget malah. Tidak heran kalimat ini sering saya bagi-bagi ke orang. Tujuannya satu: biar mereka bisa belajar dari setiap hal yang telah mereka lakukan, melanjutkan setiap langkah yang benar, dan tidak mengulang serta memperbaiki setiap yang salah.

Namun, pada kenyataannya, saya ini, ternyata hanya paham dan ngerti, jauh dari implementasi. Omong doang! Tidak heran kalau saya seringkali terantuk pada kesalahan yang sama. Saya, ternyata, kalo dipikir-pikir, lebih dungu dari keledai yang ogah kejeblos pada lubang yang sama:
  1. Sudah paham kalo ketabrak motor itu sakit. Lha kok ini, sampai tiga kali, plus becak lagi.
    ”Kamu kayaknya bakat jadi raja jalanan deh,” kata bulik saya. ”Kenapa bulik?”, tanya saya. ”Lha kuwi, motor ae sampek mbok tubruk peng telu (lha itu, motor saja kamu tabrak tiga kali),” katanya enteng
  2. Sudah ngrasain ngilunya sakit gigi, tetep aja males gosok gigi sebelum bobo
    Ngilunya sama, sakitnya pun masih sama. Lebih sakit dari sakit hati. Trust me!
  3. Sudah pernah "bersimbah darah" menata hati yang berkeping-keping gara-gara cinta yang tak sempat terungkap, eh lha kok begitu jatuh cinta lagi. Lagi-lagi ga mau mengungkap rasa
    ”Mbak, aku kangen nih!” curhat saya ke seorang teman. ”Ya sudah, telpon sana!” ujarnya enteng. ”Atut..”, jawab saya. ”Lha piye carane dia ngerti kamu kangen kalo kamu ga bilang? Lagian kenapa mesti takut?” ujarnya menasehati. ”Ya gimana ya mbak. Kayaknya memang tak terkejar. Dia tuh ya, udah cantik, pinter, anaknya orang kaya, pekerjaannya mapan pula. Lha akunya cuman kayak ginian. Dah tampang ngepres, posisi pun cuma pegawai rendahan,” jawab saya lagi. ”Heh, kamu tahu beauty and the beast?” tanyanya. ”Tahu mbak, emang kenapa?” jawab saya balik tanya. ”Lha pas kan, dia beuty, kamunya..hehehehe” candanya. ”Udah, udah, jangan terlalu dipikir, dihitung, kalo kangen ya bilang, kalo suka bilang aja. Emangnya dia itu paranormal, bisa pake telepati?. Buruan entar nyesel lho, kayak yang kemaren itu!” tuturnya mengingatkan saya pada peristiwa hancurnya hati gara-gara gadis yang saya taksir ternyata keburu disamber orang. Gara-gara saya tidak cukup keberanian mengungkapkan rasa.
    Dan, benarlah adanya. Tak menunggu lama, saya yang, lagi-lagi, tidak punya cukup nyali, terpaksa, kembali, membongkar pasang onderdil hati saya yang hancur berkeping-keping, ketika melihat datangnya pengumuman, gadis cantik yang saya idam-idamkan ternyata sudah menjadi milik orang.
  4. Sudah paham dan ngerti kalo ingkar janji itu bisa melukai, masih..saja tidak pernah absen khianat janji
    ”Besok bisa datang kan, sayang?” terdengar suara di ujung telepon. ”Iya, dont worry honey!” jawab saya dari ujung telepon yang beda. Tapi, memang lidah tak bertulang, saya tidak bisa datang, padahal sudah janji. Sekali, dimaklumin. Dua kali, dimaafin. Tiga kali, dicemberutin. Empat kali, didiemin. Lima kali, ditangisin (maksudnya, kekasih saya nangis karena jengkelnya sudah di ubun-ubun). Enam kali, diajak ngobrol di cafe. Tujuh kali? Ndak ada tujuh kali, karena di cafe tadi, saya resmi diputusin!
  5. Sudah tahu sakitnya diputusin, eh..eh..bukannya mencoba biar langgeng malah ”nyerempet-nyerempet” bahaya.
    ”Kamu, berapa kali diputus?” tanya seorang kenalan lama. ”Baru sekali!” jawab saya sambil meringis tipis (?). ”Ngga kapok?” tanyanya lagi. ”Kan belon dua!” jawab saya sekenanya. Dan...esoknya saya pun tak lagi meringis tipis, tapi meringis tebal (?) karena..uhm..hiks..ditinggal kekasih untuk kali kedua!
  6. Sudah paham dan ngerti kalo menjadi yang kedua, maka akan membuat orang pertama terluka,...teuteup, mau menjadi yang kedua.
    Beberapa bulan kemaren, saya curhat ke seorang teman nun jauh di mata bahwa saya telah menjadi yang kedua. ”Habisnya, orangnya imut-imut, chubby gitu deh. Ngga ku ku bo!” jawab saya polos ketika ditanya kenapa mau menjadi yang kedua. ”Kamu ngga kasihan ama kekasihnya yang sekarang?” tanyanya –yang menurut saya (sok) wise. ”Emang Gue Pikirin, hahahaha!” jawab saya sambil tertawa cekikikan kaya’ Mak Lampir. ”Ya sudah, tapi yang ati-ati. Maksudku, siap makan ati, hehehe!” sarannya. Dan...baru-baru ini saya meneleponnya, menceritakan sakitnya diduain oleh kekasih hati. ”Tuh kan, sakit kan?” ujarnya mengingatkan pada sakitnya kekasihnya ”kekasih” saya itu
  7. Sudah ngrasain sakitnya sebagai orang ketiga, eh lha kok malah ketagihan sakitnya
    Ceritanya, saya ndak tahan pisah dari ”kekasih” ini. Begitu ketemu, ndak kuasa menahan gejolak cinta. Jadilah cinta terlarang bersemi kembali. ”Habisnya, orangnya imut-imut, chubby. Duh, gimana ya bo!” jawab saya ketika diingatkan (kembali) oleh teman nan jauh di mata. ”Kamu, habisnya..habisnya..ya ndak habis-habis. Sorry ya, but I think you’re damn fool!” sungutnya sambil beranjak menjauhi saya. Meninggalkan saya yang ketagihan ama peran ”sebagai yang kedua”
  8. Sudah paham dan ngerti kalo ngerokok ga baik untuk kesehatan, tapi kok ya jadi hobi.
    Ndak usah dibahas lagi, yang ini, benar-benar bodoh dan sakit!
  9. Sudah paham dan ngerti kalo suap menyuap itu menciderai nurani, tapi tak pernah berhenti mengulangi, bangga, malah!
    ”Lho, mas, sampeyan masih punya nurani to? Aku pikir dah abis, ketelen ama yang namanya duit,” sindir adik saya yang masih kuliah melihat tingkah polah saya ketika masih kerja di tempat lama.

Tuesday, July 10, 2007

Si Bandel

Paling ndableg (bandel), paling ngeyelan (suka ngebantah), paling ga iso diatur (susah diatur). Itulah komentar –hafalan- ibu saya jika ditanyain, ”Jeng, putra kakung ingkang nomer sekawan meniko pripun to?” (Jeng, putranya yang nomer empat itu orangnya seperti apa ya?). Saya sendiri enggan memprotesnya. ”Ora usah protes, bocah kok senengane protes! (ndak usah protes, anak kok sukanya protes aja!),” begitu biasanya ibu menghadapi jika saya akan (tuh kan, baru ”akan” lho) memprotes omongan beliau.

Jika saya nekat protes, biasanya ibu akan dengan segera memutar kaset lama:

  1. Nek kowe ga ndableg, piye carane iso ketabrak motor sampek peng telu. Dilindes becak? (jika kamu tidak bandel, gimana caranya kamu sampai bisa ketabrak motor tiga kali? Dilindas becak?)
    [Untuk yang ini, hehehe, beneran, ga patut ditiru, semua gara-gara ngejar layangan, lupa daratan, lupa jalanan]
  2. Nek kowe ga susah diatur, opo tumon wayah mantenan mbakyune, nganggo jeans dhewe, wegah nganggo batik keluarga? (jika kamu tidak susah diatur, coba jelaskan ke ibu, apa ada orang yang ngga mau pakai seragam keluarga pengantin, pada saat kakak perempuannya menikah, malah milih make jeans, selain kamu?)
    [yang ini, hmm, gimana yach, terus terang buat saya, pernikahan adalah momen penting dan saya ingin tampil serapi mungkin, sebaik yang saya bisa. Jika kemudian saya merasa bahwa penampilan terbaik saya adalah dengan bercelana jeans dipadu dengan kemeja lengan panjang yang digulung, bersepatu casual, mosok harus ber-batik ria? Toh, yang akan menikah kan saudara sendiri, bukan orang lain. Bukan pula sedang interview dengan perusahaan yang harus saya hadapi dengan ”penampilan sedikit munafik”.
    Tapi, sekarang saya paham bahwa memang, terkadang, saya harus bisa mengorbankan sedikit perasaan demi yang namanya ”aturan tidak tertulis”]
  3. Nek kowe ga ngeyelan, piye ceritane bapak mesti ke sekolah ben kowe iso melu pelajaran agama? (jika kamu tidak suka ngebantah, ndak mungkin bapak mesti datang ke sekolah supaya kamu bisa ikut pelajaran agama lagi?)
    [kalo ini, sampai sekarang, saya tetap keukeuh tetap tidak mau ngaku salah. Gimana tidak, guru agama saya mengatakan, ”Mau tarawih 20 rakaat atau 11 rakaat, ndak ada yang salah. Yang salah adalah yang tidak mau salat (tarawih)!” Saya serta merta nyeletuk, ”Walah, ya ndak bisa gitu dong Pak. Bapak udah salah kaprah. Orang yang tidak Tarawih pun tidak salah, wong itu Sunnah kok. Payah, harusnya Bapak menerangkan kepada kami kenapa ada yang salat Tarawih 20 rakaat, kenapa ada yang 11. Jika sudah diterangin, nah biarkan masing-masing dari kami memilih, mana yang menurut kami lebih bisa diterima kebenarannya. Piye to?”. Tapi apa lacur, celetukan saya ini kemudian berujung hukuman tidak boleh ikut pelajaran agama dari dalam kelas. Dan terpaksalah, Bapak saya ”berdiskusi” dengan bapak guru agama, supaya saya diperbolehkan masuk kelas agama lagi. Saya sendiri ngeyel, ga mau ngaku salah, tapi karena bapak saya bilang, ”Le, sekarang, ndak penting siapa yang bener, siapa yang salah. Yang bapak ngerti caramu nyampekno pendapat salah. Sudah njaluk ngapuro kono! (Sudah minta maaf sana)" , saya akhirnya mengalah dan meminta maaf, bukan untuk inti perkataan saya, tapi untuk cara penyampaiannya.
    Dan sejak saat itu, saya belajar untuk lebih bisa memilih milah diksi. Lebih memperhatikan situasi dan kondisi, terutama jika ingin mengkritik. Tapi, sejujurnya saya belum berhasil seratus persen, buktinya ibu saya masih saja bilang kalo saya adalah putra kakung-nya (anak lelakinya) yang paling ngeyelan].

Meski ndableg, susah diatur dan ngeyelan, tapi ada satu urusan yang ibu dan bulik selalu percayakan ke saya, tidak ke kakak-kakak maupun adik-adik saya. Urusan itu adalah: Belanja! (dilarang tertawa!). Saya, sampe sekarang, masih hapal, dimana harus belanja gula dan minyak goreng termurah. Dimana bisa mendapatkan ikan dan sayuran segar, dengan harga miring. Pokoknya, setiap lorong di pasar tradisional di kampung halaman, saya hapal, nglotok, di luar kepala, hehehe.

Jadi, wahai kalian para perempuan-perempuan lajanger, jika mencari lelaki muda, yang merelakan waktu weekend-nya berbecek-becek di kios ikan, bermandikan keringat bercampur bawang, please feel free to contact me (hehehe, kok jadi malah promosi diri, ketahuan kalo susah lakunya!). Tapi, ya itu tadi, Bandel-nya ga ketulungan. (Masih) Mau?

balada jus

J-U-I-C-E, dibaca jus, jadilah JUS, J-U-S. Minuman ini aseli mak nyezzz, terlebih jika dinikmati di siang yang terik. Pokoknya saya sudah cinta mati sama minuman satu ini. ”Eh, kok sama sih, saya juga suka jus lhoh mas. Bukan apa-apa, selain mak nyes, jus juga baik buat tubuh, kan dari buah-buahan,” celetuk seorang teman perempuan, yang ..hm..m.. wajahnya semanis jus (halah!). ”Emang, kamu suka jus apa?” tanya saya sok antusias dengan jus-nya, padahal aselinya, antusias dengan yang tanya (hahahaha). ”Alpukat, apalagi kalo dicampur coklat. Slurup! Yummy!” jawabnya cepat dengan mata yang berbinar-binar, seolah saya ini pelayan yang siap menghidangkan jus alpukat.

”Bos, ane mbok ditanyain? Suka jus apa getoo!” ujar teman laki-laki di kubik sebelah yang hobinya memang ngrecokin ”kesenengan” saya. ”Ya sudah, kamu (sukanya apa)?” tanya saya ogah-ogahan. ”Ane suka apel bos. Tapi dulunya sih mangga, eh bukan ding, uhm... ane paling demen ama yang namanya jus tomat. Maklumlah, anti sariawan, hehehe,” jawabnya dengan cengengesan, yang membuat mood saya menguap. Beruntunglah sebelum semua mood menguap habis, teman perempuan yang wajahnya semanis jus itu bertanya, ”Oh ya, ngomong-omong, mas-nya sendiri suka apa?”. ”Oh, saya sukanya my own juice. Rasanya, mbah-nya mak nyes. Two thumbs up! Mbak-nya mau nyobain?” jawab saya mesam-mesem, karena sudah mbayangin duduk berdua bersama pemilik wajah semanis jus ini di cafe yang cozy dengan iringan musik-nya Rod Stewart, menikmati segelas my own juice.

”Engga ah mas. Saya sekarang lagi detoks. Jadinya belum berani nyoba selain alpukat,” tolaknya halus. ”Lhoh, jangan salah, my own juice itu udah lama terkenal karena bisa untuk detoks. Buah-buahan yang di-mix tuh udah diatur agar bisa mengatasi radikal bebas,” tukas saya mencoba ngeyakinin. ”Yach, bos. Dia mah bukan detoks dari radikal bebas. Tapi dari rinduh yang menderuh, hahahaha,” sahut teman di kubik sebelah tadi.

”Eh, kamu bisa diem ngga sih. Nyahut aja sukanya! Kasihan kan mbak-nya,” sungut saya. ”Ga pa pa mas, biasa aja kalee. Tapi, by the way, lucu juga ya kalo ada jus untuk detoks rinduh menderuh. Mau deh nyobain, hehehe,” ujarnya sambil tersenyum kecil. ”Oh..kalo itu sih gampang. My own juice plus beberapa tips dari saya, dijamin tokcer!” tukas saya cepat. Tapi, belum sempat saya mempraktekkan ilmunya Will Smith di Film Hitch, terdengar suara berlogat Medan dari kubik depan, ”Lae, sekali-kali otak kau perlu diblender, di-jus, biar tak ngeres. Ok tak?”

Minum jus

  1. Jika anda suka buah-buahan, tapi emoh memakannya langsung, Jus is The Answer!
  2. Jus tuh ya, baik untuk tubuh, mengandung saripati buah-buahan. Tapi, untuk hasil yang maksimal, harus tetap diikuti dengan pola hidup sehat lainnya. Seorang teman, maniak dengan jus wortel, katanya, ”Baik untuk perokok kayak aku.” Lha ini kan ya kasihan jusnya. Kalo mau maksimal hasilnya, ya berhenti ngerokok, bukan ”ngarep detoks berlebihan” dari jus, iya to?
  3. Jus itu dari JUICE, bukan DEUCE. Maksud saya, kalo minum jus, jangan lupa traktir saya, karena kita toh bukan sedang maen tenis, ndak sedang berhadap-hadapan sebagai lawan tanding, jadi ndak ada tuh Deuce, yang ada JUS. OK? Atau bingung karena ga nyambung? Gini deh, intinya, minumlah jus dengan tenang dan dinikmati senikmat-nikmatnya, jangan hiraukan suara-suara miring, ”Eh Alpukat tuh bikin gemuk lho” atau ”Jangan nge-jus tomat, bikin usus buntu!”, atau ”Eh jangan sering-sering nge-jus ya, nanti uang sakumu jebol lho!” (maaf..salah, yang ini biasanya hanya untuk anak kuliahan, hehehe). Gimana? Sudah nyambung atau semakin bingung? Udahlah, nge-JUS sana! Gitu saja kok repot!

Thursday, July 5, 2007

Cih! Gombal!

Pernah di-Cih!-in seorang perempuan? Atau minimal dibilang,”Ah gombal loe!” ? Kalau tidak pernah berarti Anda tidak ”seberuntung” sy. Sejak SMA saya seringkali dibilangin,”Kamu tuh ya, ngga nggombal sedetik aja kenapa sih?”. ”Lhoh kapan aku nggombal?” tanya saya pada salah seorang di antara penge-Cap (maksudnya, orang-orang yang suka bilang kalau sy ini Tukang ngGombal). ”Kamu..sadar dong! Masa’ tiap ketemu cewek, pasti bilang, Eh kamu cantik deh!, Eh, udah lama lhoh aku suka kamu, bla..bla..bla..pokoke nggombal abies!” seru teman tadi sedikit ngos-ngosan karena -yach menurut saya sih salah sendiri- ngomong tanpa titik koma, tanpa jeda, yang lumayan lama.

Biasanya, jika berhadapan dengan yang semodel ini saya hanya akan tersenyum. Maklumlah mereka ini, dalam pandangan saya termasuk perempuan sejati. Maksud saya: maunya, dipujiiii...terus! ”Lha itu ya wajar, mana ada cewek yang suka dibilang jelek. Kamu ini mbok ya belajar sana about psikologi cewek!” celetuk teman sekantor saya. Jika sudah begini, sekali lagi, saya akan tersenyum, trus manggut-manggut, (seolah) setuju (padahal tidak, hehehe).

”Kok? Kenapa tidak setuju? Itu kan bener bos!,” tanya seorang teman di kantor, ketika saya menceritakan ini padanya. ”Begini, ini ada reason-nya. Lumayan panjang. Kamu mau ndengerin?” jawab saya sambil bertanya balik. ”Ooh, siap!” jawabnya sambil mengajakku ke sudut ruangan, ”Biar enak ngobrolnya, hehehe,” ujarnya ketika saya menunjukkan keengganan beringsut dari cubicle ”tercinta”.

”Jadi, menurut aku, ingat menurut aku lho, kita itu harus jujur dalam ngungkapin rasa. Ungkapin aja, daripada dipendem, nyusahain diri sendiri” ujar saya memulai penjelasan. ”Ketika kamu bertemu dengan cewek, ingat! hanya dan jika hanya cewek, kamu harus bisa bilang: (1) ”Eh kamu cantik deh!” atau (2) ”Hari ini kamu cakep!” atau (3) ”Hei Cantik..!” and bla..bla.. pokoknya yang enak didengar di telinga. Tapi, ingat, ada tapinya, jika dia memang saat itu cukup pantas untuk dibilang cakep, cantik, dan manis. Saat itu pula, si cewek cukup mampu menggelisahkan hati, membuat kamu susah berpaling, susah tidur, terus memimpikannya dan sejenisnya. Tapi..,” terang saya, yang kemudian mesti terhenti karena terpotong protesnya, ”Oh, kalo yang itu mah ane juga paham bos! Wah, percuma dong kita mojok gini. Maksud ane, kenapa tadi ga setuju! Bukannya ini poinnya sama saja ama si Anu tadi!”. ”Makanya, jangan dipotong dulu! Ini bedanya: Tapi, ini tolong dicatat, di-bold, digaris bawahi dan dikasih tanda seru, jika si cewek, pada saat kamu bertemu, cukup pantas untuk dibilang: (1) ”Duh, kamu ngga banget deh, say!” atau (2) ”Kamu kok ngga secantik kemaren sih?” atau..apalagi ya, yach pokonya yang sejenis itulah, kamu juga harus berani ngungkapin (rasa) ini. Paham?” ujar saya. ”Waduh, berat bos, berat..!” sahutnya spontan.

”Tapi kamu paham kan bedanya?” tanya saya sambil beranjak dari tempat mojok tadi. ”Iya sih bos, cuman ya, berat bos!” jawabnya sambil menggigit-gigit penanya. ”Memang berat, maklumlah, mostly, cewek emang sukanya cuman dipuji. Jarang banget yang doyan dikritik penampilannya. Akibatnya, orang-orang kayak kamu, yang males bermasalah dengan cewek, bisanya cuman muji doang. Kalo itu sih, beneran gombal. Beda kan dengan aku, kalo cantik ya dipuji, kalo ancur ya, bilang aja ancur! Cuman, memang, masalahnya, cewek tuh ya emang mbingungin: Dibilang cantik, dikiranya nggombal! Dibilang jelek, di-cap-nya kita ngga ngertiin cewek,” terang sy lagi. ”Tapi bos, kok orang-orang bilang, sorry nih ya, bos nih Tukang ngGombal? Berarti bos emang ga pernah njelek-kin dong? Bisanya cuman muji doang dong?” berondongnya.

”Oh itu, itu beda masalah. Begini, sudah khasnya manusia kalo ngga mau disaingin. Kalo bisa jangan ada orang lain yang lebih darinya, salah satunya lebih cantik atau cakep dari dirinya. Nah, aku kan suka sebar pujian, tanpa pandang nama. Mungkin, ini mungkin lho, misalnya, ketika hari ini si A kubilang: Kamu cantik deh! si A trus ngerasa kalo dia tuh paling cantik se dunia ato bahkan, ini yang parah, aku suka dia. Tapi, tak seberapa lam dia ndenger aku muji si B: Hei, kamu cakep banget! Nah, si A, yang sebelumnya sudah ngerasa yang tidak-tidak, tidak bisa ”menerima” aku muji si B, akhirnya di-cap-nya lah aku sebagai Tukang NgGombal, padahal kan tidak!. Mengapa? Karena menurutku baik si A maupun Si B emang saat itu, keduanya terlihat cantik. Apa salah muji orang?” jelas sy setelah sampai di cubicle. ”Terus.., manusia juga punya sifat suka lupa. Terutama sama yang namanya kritik. Jadinya, waktu aku ngomong yang ”jelek-jelek” tentang penampilan, semisal di hari yang berbeda aku ngomong ke si A dan si B: Duh kamu biasa banget sih hari ini! Nah, si A & si B (mungkin) bakalan ngambek tapi manusia-manusia di sekeliling si A & si B aku jamin tidak akan pernah mengingat ini. Yang mereka ingat cuman waktu aku bilang ke si A: Hei Kamu cantik deh!. kemudian ke si B: Eh, kamu cakep banget hari ini! Jadi...repot kan?” lanjut sy

”Waduh, tapi kok menurut ane, situ tetap aja salah bos! Nyebar pujian kan bisa bikin Ge-eR?” protesnya. ”Lha salah sendiri Ge-eR?” ujar saya membela diri. ”Ih, ke-Ge-eR-an! Dasar Egois! Sadar dong! Ngaca sana, tampang bandel gitu kok! Siapa pula yang percaya?” sengit seorang teman perempuan di kubik depan yang membuat sy cuma bisa mengeluh, ”Mak.., salah tampang nih! Huhuhu...”