Tuesday, July 10, 2012

Ikhlas (lagi)


”Khusnudz Dzon-lah (berbaik sangka-lah) selalu kepada ALLAH SWT.”

Sebuah kabar berembus dari tempat kerja lama. Ada 25 pegawai yang akan ”di-PHK.” Beberapa ”korbannya” adalah orang-orang yang saya kenal baik.

Saya bersedih untuk mereka. Tapi, saya sungguh-sungguh malu dan keliru. Ternyata, mereka adalah ’orang-orang hebat’. Mereka menunjukkan kebesaran hati. Salut saya untuk mereka.

This is my favourite quote (seperti yang disuratkan salah satu dari mereka menanggapi kondisi ’di-PHK’) :

Saya pun memutuskan untuk menerima dengan ikhlas, tanpa hard  feeling, tanpa sakit hati, tanpa beban perasaan sama sekali. Mengapa? Karena saya percaya bahwa mundur dari ****** ini adalah jalan terbaik, yang telah dipilihkan Allah SWT untuk saya. Jika dianalisis secara rasional, tentu saja ada sebab-sebab obyektif maupun subyektif, dan ada proses yang melatarbelakangi, ..... Tetapi, bagi saya sekarang, itu hanyalah detail kecil dalam peta besar, grand design, yang sudah diarahkan oleh Allah untuk saya

Quote ini mengingatkan dan memantapkan kembali hati saya, bahwa setiap detail perjalanan hidup adalah ”nikmat” dari ALLAH SWT yang harus disyukuri dan dijalani dengan penuh keihlasan. Khusnudz Dzon-lah (selalu) kepada ALLAH SWT...

Euro Cup 2012 (part 2: tentang ikhlas)


diperlukan keikhlasan dan kebesaran hati untuk menerima setiap ’kekalahan’ (petuah kebijaksanaan-anonim)

Sebenarnya, saya berniat menuliskan ini segera setelah  Pedro Proenca –wasit asal Portugal yang memimpin Final Euro 2012- meniup peluit akhir pertandingan. Namun, seperti biasa, dengan berbagai alasan –baik yang diniatkan maupun tidak diniatkan- saya baru bisa menuliskannya sekarang.

Sidang pembaca yang terhormat, pada episode awal Euro Cup 2012, saya menuliskan ini: ” Saya sudah kadung kepincut ama Italia. But.. secara objektif, chance ”Gli Azzurri” kali ini tidak besar. Materi mereka ”tidak mumpuni dan mencukupi.” Jadi saya sudah menyiapkan lahir dan batin melihat Buffon dkk pulang gasik.”

Sudah tersurat dengan jelas bahwa saya sudah siap lahir batin alias ikhlas jika Italia kalah/tersingkir. Namun, apa mau dikata, ternyata ikhlas itu gampang diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Nafsu memang begitu. Ia seperti ”noda hitam” yang menutup nurani, menjadikannya tidak legowo. Maka, saya dengan suksesnya uring-uringan tidak karuan. Padahal, jelas-jelas secara objektif, Spanyol memang lebih unggul.

Dalam kasus ini, saya adalah contoh buruk untuk praktek keikhlasan. Saya malu.