Part 3: Lelakiku
dan Ibu...
Medio Ramadhan 2009. Tiga tahun setelah perpisahanku
dengannya di parkiran.
Ibu sakit. Ini
sudah keempat kalinya dalam tiga bulan ibu harus dirawat inap. Kali ini karena
salah makan. Usia yang sudah sepuh
mengharuskan ibu untuk semakin berhati-hati dan pilih-pilih dalam urusan makan
dan minum. Dan seperti malam-malam sebelumnya aku memaksa untuk selalu nungguin ibu, meskipun Paklik Edy dan
Bude Tik selalu menyarankan agar aku juga istirahat. Mungkin mereka kasihan
melihatku yang hanya pulang ke rumah jika hendak mandi dan mengambil baju
ganti.
Dingin dan pegel, maklum aku tidur menekuk badan di
kursi, persis di bawah AC dengan selimut jaket. Selimutku sendiri kubalutkan ke
tubuh ibu. Aku takut selimut ibu tidak cukup tebal dan beliau kedinginan.
Sesekali di tengah malamku, aku menengok ranjang beliau, memastikan tidak ada
sesuatupun yang mengganggu tidurnya. Ah ibu, seandainya ada yang bisa kuberikan
untuk kesehatanmu dan kebahagiaanmu, pasti akan aku berikan meski itu
kebahagiaanku sendiri. Nasehat dokter Setyadi masih teringat jelas olehku, “Ibu
harus banyak istirahat. Hatinya harus dibuat tenang. Jangan buat beliau shock dan sedih, karena itu akan sangat
memengaruhi kesehatan beliau”. Nasehat yang diberikan ketika ibu keluar dari
rumah sakit. Tanpa sadar aku menggigil, mengenang peristiwa malam itu. Malam
dimana kali pertama ibu masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung.
Malam yang membuatku semakin meyakini bahwa dinding pemisah antara aku dan dia, kini, semakin tebal.
Medio Ramadhan 2007, di satu rumah di sudut kota Jogja
”Dasar anak ndak tahu terima kasih. Kurang apa coba
anaknya Pak Roesmani. Cantik, baik, berpendidikan, dari keluarga baik-baik dan
yang jelas dia seadat-seagama dengan kita. Eh..masih
juga mikirin, sopo kuwi, perempuan ga jelas.” Aku hanya terdiam, lidahku
kelu. Tangan ibu bergerak, hendak menampar mukaku kalau saja Paklik Edy tidak
segera mencegah, ”Sudah Mbakyu,
Sudah!”. “Qi, kamu keluar dulu sana, biar ibumu menenangkan diri.” Tanpa
berkata-kata kuangkat mukaku, kuayunkan langkah ke halaman rumah. Tak berapa
lama, Paklik Edy menemuiku, ”Qi, Ibumu sudah sepuh, kamu mbok ya yang
pengertian.” ”Tapi Paklik...” belum sempat aku melanjutkan, Paklik dengan
lembut memotong ucapanku dan berkata, ”Iya, Paklik ngerti. Paklik juga pernah
muda. Tapi ingat, hanya kamu anaknya Mbakyu. Hanya kamu satu-satunya pelita
hidupnya setelah Bapakmu meninggal.” Kepalaku semakin pening, senyumnya perlahan bermain-main di pelupuk
mataku. Kugeleng-gelengkan wajahku. Sesekali kuhirup napas panjang untuk
mengusir pening. ”Sudah, shalat malam sana, biar lebih tenang”, ujar Paklik Edy
yang menangkap jelas kegundahanku. ”Baik Paklik, matur nuwun,” jawabku lirih sambil melangkahkan kaki ke musholla.
Di musholla, kupanjatkan doa agar ibu diluluhkan hatinya.
Merestui hubungan kami. Rangkaian doa yang panjang, pelepas lelahnya jiwa.
Tidak terasa aku terlelap di atas sajadah. Ternyata, tidak hanya jiwaku yang
lelah, ragaku juga. Sejenak kunikmati damainya rumah Allah. Kedamaian itu
berakhir ketika Pak Solikin, pembantuku membangunkanku untuk sahur. ”Terima
kasih Pak,” ujarku sambil merapikan sajadah.
Memasuki
pelataran rumah, langkahku sedikit berat. Kukuatkan hati, berharap agar
kemarahan ibu mereda. Dugaanku keliru, Ibu masih marah. Beliau memilih sahur di
kamar. Aku jadi malas sahur. ”Masalah ini harus selesai”, begitu pikirku.
Biarlah ibu marah besar. Toh tidak sekali ini ibu marah. Aku
capek dengan rasionalitas. Capek berpura-pura seakan-akan tidak ada apa-apa
diantara kami. Aku menyerah. Aku terlalu menyayanginya.
Setelah menghabiskan segelas susu, aku beranjak ke kamar
ibu. Tapi belum sempat aku meneruskan niatku, Bi Ijah berteriak panik,
”Mas..mas, Ibu Mas!” Aku segera berlari ke kamar ibu. Disana kulihat ibu
pingsan. Segera kuambil kunci mobil, dibantu Pak Solikin, aku membawa Ibu ke
rumah sakit.
”Ibu terkena serangan jantung. Jiwanya tidak cukup kuat
menghadapi tekanan”. Kalimat dokter ini seperti menamparku. ”Ya Allah, maafkan
hamba!”. Tidak seharusnya aku seegois itu. Memaksakan kehendak. ”Bodoh..bodoh!”
makiku ke diri sendiri.
Penyesalan membawaku ke ruang ibu dirawat, ruang VIP No.3
Paviliun Ambarukmo di Lantai II. ”Bu...kulo
pareng mlebet?”, ujarku sambil mengetuk pintu. Sekali, dua kali tidak ada
jawaban. Kuberanikan diri memutar gagang pintu. Pelan kubuka, kulongokkan
badanku ke kamar. Kulihat di sana ibu sedang berbaring di ranjang, membelakangi
pintu. Kudekati beliau, kubelai kakinya. Kupijit pelan. ”Maafkan sayaa Bu?”
ujarku lembut. Sayaa sayang Ibu, juga dia.”
Ibu masih diam, tidak menjawab. Saat itu, waktu seolah berhenti. Hening.
Keheningan pecah ketika terdengar olehku suara tangis. Ibu menangis. Tangisan
yang sangat lirih, seolah takut ada yang mendengarkan. Pelan, ibu membalikkan
badan, tangannya mengusap lembut kepalaku. Beliau tidak berkata-kata, airmata
terlihat jelas menggenang di pelupuk matanya. Aku yang tidak pernah melihat Ibu
menangis sejak kematian Bapak, tidak mampu menahan haru. Pertahananku ambrol.
Kupeluk ibu sambil memohon ampun. Semuanya jelas meski tanpa ada sepatah kata. Ibu tetap tidak merestuiku.