Tuesday, August 28, 2012

lelakiku dan perempuanku (3)


babak lanjutan part 1 dan part 2

Part 3: Lelakiku dan Ibu...

Medio Ramadhan 2009. Tiga tahun setelah perpisahanku dengannya di parkiran.
Ibu sakit. Ini sudah keempat kalinya dalam tiga bulan ibu harus dirawat inap. Kali ini karena salah makan. Usia yang sudah sepuh mengharuskan ibu untuk semakin berhati-hati dan pilih-pilih dalam urusan makan dan minum. Dan seperti malam-malam sebelumnya aku memaksa untuk selalu nungguin ibu, meskipun Paklik Edy dan Bude Tik selalu menyarankan agar aku juga istirahat. Mungkin mereka kasihan melihatku yang hanya pulang ke rumah jika hendak mandi dan mengambil baju ganti.

Dingin dan pegel, maklum aku tidur menekuk badan di kursi, persis di bawah AC dengan selimut jaket. Selimutku sendiri kubalutkan ke tubuh ibu. Aku takut selimut ibu tidak cukup tebal dan beliau kedinginan. Sesekali di tengah malamku, aku menengok ranjang beliau, memastikan tidak ada sesuatupun yang mengganggu tidurnya. Ah ibu, seandainya ada yang bisa kuberikan untuk kesehatanmu dan kebahagiaanmu, pasti akan aku berikan meski itu kebahagiaanku sendiri. Nasehat dokter Setyadi masih teringat jelas olehku, “Ibu harus banyak istirahat. Hatinya harus dibuat tenang. Jangan buat beliau shock dan sedih, karena itu akan sangat memengaruhi kesehatan beliau”. Nasehat yang diberikan ketika ibu keluar dari rumah sakit. Tanpa sadar aku menggigil, mengenang peristiwa malam itu. Malam dimana kali pertama ibu masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung. Malam yang membuatku semakin meyakini bahwa dinding pemisah antara aku dan dia, kini, semakin tebal.

Medio Ramadhan 2007, di satu rumah di sudut kota Jogja
”Dasar anak ndak tahu terima kasih. Kurang apa coba anaknya Pak Roesmani. Cantik, baik, berpendidikan, dari keluarga baik-baik dan yang jelas dia seadat-seagama dengan kita. Eh..masih juga mikirin, sopo kuwi, perempuan ga jelas.” Aku hanya terdiam, lidahku kelu. Tangan ibu bergerak, hendak menampar mukaku kalau saja Paklik Edy tidak segera mencegah, ”Sudah Mbakyu, Sudah!”. “Qi, kamu keluar dulu sana, biar ibumu menenangkan diri.” Tanpa berkata-kata kuangkat mukaku, kuayunkan langkah ke halaman rumah. Tak berapa lama, Paklik Edy menemuiku, ”Qi, Ibumu sudah sepuh, kamu mbok ya yang pengertian.” ”Tapi Paklik...” belum sempat aku melanjutkan, Paklik dengan lembut memotong ucapanku dan berkata, ”Iya, Paklik ngerti. Paklik juga pernah muda. Tapi ingat, hanya kamu anaknya Mbakyu. Hanya kamu satu-satunya pelita hidupnya setelah Bapakmu meninggal.” Kepalaku semakin pening, senyumnya perlahan bermain-main di pelupuk mataku. Kugeleng-gelengkan wajahku. Sesekali kuhirup napas panjang untuk mengusir pening. ”Sudah, shalat malam sana, biar lebih tenang”, ujar Paklik Edy yang menangkap jelas kegundahanku. ”Baik Paklik, matur nuwun,” jawabku lirih sambil melangkahkan kaki ke musholla.

Di musholla, kupanjatkan doa agar ibu diluluhkan hatinya. Merestui hubungan kami. Rangkaian doa yang panjang, pelepas lelahnya jiwa. Tidak terasa aku terlelap di atas sajadah. Ternyata, tidak hanya jiwaku yang lelah, ragaku juga. Sejenak kunikmati damainya rumah Allah. Kedamaian itu berakhir ketika Pak Solikin, pembantuku membangunkanku untuk sahur. ”Terima kasih Pak,” ujarku sambil merapikan sajadah.

Memasuki pelataran rumah, langkahku sedikit berat. Kukuatkan hati, berharap agar kemarahan ibu mereda. Dugaanku keliru, Ibu masih marah. Beliau memilih sahur di kamar. Aku jadi malas sahur. ”Masalah ini harus selesai”, begitu pikirku. Biarlah ibu marah besar. Toh tidak sekali ini ibu marah. Aku capek dengan rasionalitas. Capek berpura-pura seakan-akan tidak ada apa-apa diantara kami. Aku menyerah. Aku terlalu menyayanginya.
Setelah menghabiskan segelas susu, aku beranjak ke kamar ibu. Tapi belum sempat aku meneruskan niatku, Bi Ijah berteriak panik, ”Mas..mas, Ibu Mas!” Aku segera berlari ke kamar ibu. Disana kulihat ibu pingsan. Segera kuambil kunci mobil, dibantu Pak Solikin, aku membawa Ibu ke rumah sakit.

”Ibu terkena serangan jantung. Jiwanya tidak cukup kuat menghadapi tekanan”. Kalimat dokter ini seperti menamparku. ”Ya Allah, maafkan hamba!”. Tidak seharusnya aku seegois itu. Memaksakan kehendak. ”Bodoh..bodoh!” makiku ke diri sendiri.

Penyesalan membawaku ke ruang ibu dirawat, ruang VIP No.3 Paviliun Ambarukmo di Lantai II. ”Bu...kulo pareng mlebet?”, ujarku sambil mengetuk pintu. Sekali, dua kali tidak ada jawaban. Kuberanikan diri memutar gagang pintu. Pelan kubuka, kulongokkan badanku ke kamar. Kulihat di sana ibu sedang berbaring di ranjang, membelakangi pintu. Kudekati beliau, kubelai kakinya. Kupijit pelan. ”Maafkan sayaa Bu?” ujarku lembut. Sayaa sayang Ibu, juga dia.” Ibu masih diam, tidak menjawab. Saat itu, waktu seolah berhenti. Hening. Keheningan pecah ketika terdengar olehku suara tangis. Ibu menangis. Tangisan yang sangat lirih, seolah takut ada yang mendengarkan. Pelan, ibu membalikkan badan, tangannya mengusap lembut kepalaku. Beliau tidak berkata-kata, airmata terlihat jelas menggenang di pelupuk matanya. Aku yang tidak pernah melihat Ibu menangis sejak kematian Bapak, tidak mampu menahan haru. Pertahananku ambrol. Kupeluk ibu sambil memohon ampun. Semuanya jelas meski tanpa ada sepatah kata. Ibu tetap tidak merestuiku.

Evaluasi Diri


Waduh, tau-tau udah tanggal 28 Agustus. Uhm...berarti ampir 2 bulan blog ini kosong. Bahaya nih!

Baiklah, saatnya menulis kembali ;)

Di kesempatan yang baik ini, ijinkan saya untuk mengawali dengan mengucapkan: ”Selamat Idul Fitri 1433 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Taqobbalallahu Minna Waminkum Taqobbal Ya Kariim.”

Ijinkan pula saya untuk men-share khutbah Jumat yang kemarin saya dengarkan. Temanya: Evaluasi Pasca Romadlon.

1. Evaluasilah diri sendiri. Ga perlu tengak-tengok orang lain.
2. Tujuannya: mencapai derajat la’allakum tattaquun
3. Alat ukurnya: mulailah dari rukun iman.
a.        Apakah syahadatain yang sudah diucapkan dengan lisan telah benar-benar kita imani dengan hati dan kita aplikasikan dalam perbuatan? Sudahkah kita menjauhkan diri dari tindak dan perbuatan yang menyekutukan ALLAH SWT? Sudahkah kita menjadikan Rosulullah Muhammad saw sebagai uswatun khasanah?
b.        Apakah shalat yang kita laksanakan sudah laksanakan menjadikan kita tanha ’anil fakhsya’i wal munkar. Ataukah sholat adalah rutinitas yang tiada arti. Sekedar menggugurkan kewajiban?
c.         Zakat? Benarkah hitungan kita? Jujurkan dalam menghitungnya? Ikhlaskah dalam mengeluarkannya? Apakah kita telah tumbuh menjadi pribadi yang bisa lebih berempati pada masyarakat yang kurang mampu atau sami mawon (sebelum puasa)?
d.        Apakah puasa sudah menjadikan kita sebagai muslim yang ”berakhlak puasa”, pasca bulan puasa? Sudah berhasilkah kita mengendalikan hawa nafsu?
e.        Sudahkah haji kita menjadikan kita sebagai seorang yang mabrur? Semakin dermawankah kita? Bisakah kita meredam ego untuk tidak berangkat haji lagi sementara masih ada tetangga yang kekurangan?


Saya mengevaluasi diri. Hasilnya: masih sangat jauh dari derajat la’allakum tattaqun. Namun saya akan terus berikhtiar untuk bisa ke derajat itu. Amiin.