Wednesday, December 31, 2008

ganti seragam


akhirnya, tiba saat aku (kembali) berganti seragam. tapi entah kenapa aku merasa kegembiraanku tidak penuh, tapi seperti kata sahabatku,"Life Is About Choice." aku hanya berharap, jikalaupun jalan yang kupilih ini adalah sesat, maka biarkanlah aku tersesat di jalan yang benar.
amien...

Tuesday, December 30, 2008

tentang tanya yang tak harus dijawab


Seseorang yang saya kenal dan mengenal saya, rajin berkirim sms. Bertanya ini dan itu. Saya sebisanya akan menjawab. Hingga datang sms-nya yang ini:

”Who Am I To You? Sahabat, evil, bla...bla..” Seterusnya tidak saya baca. Males!

Rasanya susah sekali, buat saya, untuk tidak mengaitkan ini dengan galau hati yang sedang dialaminya. Ceritanya begini. Seseorang yang saya kenal dan mengenal saya ini sedang dirundung masalah. Ada ”kekisruhan” di lingkungan sekitarnya yang membuat dia terkena getah dan terseret, ikut terkena stempel ”musuh bersama.” Sms-nya kali ini terdengar seperti orang yang berada di tempat yang terang tapi kosong. Dia seperti sedang berusaha memetakan: siapa kawan, siapa lawan.

”Who Am I to you?”. ”Hey, Loe melek ga sih!” teriak saya dalam hati. Marah! ”Setan apa yang membuatmu menuliskan pertanyaan sebodoh itu!”

Sejak awal posisi saya jelas. Saya tidak dalam posisi kawan ataupun lawan. Posisi saya adalah sebisa mungkin melihat semuanya dalam kejernihan hati. Kenapa harus ada ”Kawan dan lawan?”

Buat saya, ada jenis pertanyaan yang tidak harus dijawab. Bisa karena retoris hingga karena memang tidak tahu jawabannya, dan ”Who Am I to you?” adalah salah satunya.

Tadi pagi saya membuka Inbox. Ada sms dari seseorang yang saya kenal dan mengenal saya, ”And I wont ask U anything else.” Saya menerjemahkan sms-nya ini sebagai bentuk dari apa yang saya pahami sebagai bagian proses: dari seseorang yang saya kenal dan mengenal saya menjadi lebih baik (dari itu). Seperti apa, entahlah, let time tell!



PS: maaf jika harus memanggilmu dengan "seseorang yang saya kenal dan mengenal saya" karena Who Am I to You, membuatku kebingungan harus bagaimana memanggilmu seperti apa, sekarang.

resolusi tengkuk


Saya bukan muslim yang taat, itu jujur saya akui. Ada banyak ”jalan sesat” yang telah saya tempuh, padahal papan penunjuk ”jalan lurus” terang benderang terpampang di hadapan.

”Kesadaran” itulah yang saya bawa di jelang Tahun Baru 1 Muharrom 1430 H. Saya berhening sejenak, mencoba memutar kaleidoskop perjalanan saya di Tahun 1429. Saya mencatat banyak hal negatif dan positif. Namun saya sadar, catatan pribadi itu selain subjektif juga jauh dari lengkap.

Orang tidak bisa melihat tengkuknya. Karena itulah dia sulit untuk mengetahui ”kekurangan” dan ”sifat jeleknya.”

Istri saya mengucapkan ini. ”Lupa,” ucapnya enteng, ketika saya tanya, ”Ngutip dimana?” Masih kata istri saya, ”Tengkuk itu kan banyak dakinya, tapi orang sering tidak ngeh.” Saya, saat itu, sadar kenapa dalam setiap iklannya sebuah produk sabun cuci selalu memperlihatkan kemampuannya membersihkan bagian kerah baju. Ya, kerah baju itu nempel di tengkuk, salah satu titik noda utama.

Dan seperti daki, sisi negatif itu juga nempel di ”tengkuk hati.” Kita tidak bisa melihatnya, dan kalopun bisa, kita terlalu angkuh untuk mengakui keberadaannya.

”Dimana ’tengkuk hati’ itu?”

Jangan tanyakan itu. Saya sama tak tahunya dengan Anda. Itu hanya istilah absurd dan ngawur yang saya ciptakan untuk menggambarkan bahwa selalu ada sisi negatif yang luput untuk Anda lihat ketika sedang ”becermin” -untuk mengoreksi diri. Anda butuh orang lain. Pesan moralnya: (1). Jadi orang harus siap dikritik; (2). Rajin-rajinlah menggosok tengkuk, terutama ”tengkuk hati.”

Demi melihat dan membersihkan ”tengkuk hati” itu, saya berkirim sms ke beberapa orang. Metodenya masih sama, purposive sample, dengan pertanyaan sederhana, ”Hal apa yang menjadi ’Strength’ dan ’Weakness’-ku?”

Ijinkan saya membagi satu di antara weakness yang ditemukan oleh salah satu ”responden” di ”tengkuk” saya: Too Many Analytical Thinking! Maunya saya –ketika membaca ini- protes. Saya menangkap ini sebagai: (1)”terlalu banyak bicara” yang diperhalus; (2). Peragu, terlalu banyak mikir.

Tapi saya sadar, ini bagian dari ”resolusi diri.” Ini kritik. Inilah daki yang dilihat oleh salah seorang ”responden” nempel di ”tengkuk hati” saya. Adalah tugas saya, selanjutnya, untuk menggiring ”too many alaytical thinking” ini menuju jalan yang benar. Memakainya dengan benar dan di tempat yang benar.

”Biar resolusinya tidak cuma Omdo, omong doang. Bukan begitu, Pak, Bu?”

di jalur gaza, pekan ini

”Keberadaan agama ternyata adalah sia-sia. Buktinya, ia tidak bisa menjamin adanya kedamaian di dunia ini. Ia pun layu di hadapan keserakahan”

Ini premis yang jelas tidak dibenarkan. Tapi menjadi sulit dibantah ketika dihadapkan pada Palestina, khususnya Jalur Gaza, di pekan ini.

Jalur Gaza bergolak lagi. Tentara Israel, dengan alasan membalas serangan Hamas, melancarkan pemboman besar-besaran. Roket berhamburan. Maksudnya menyerang pusat-pusat kegiatan Hamas, namun apa lacur, korban sipil tidak terelakkan.

Aneh sekali, bukankah tempat itu hanya ”selemparan batu” saja dari tempat suci 3 agama: Islam-Nasrani-Yahudi. Hanya 75 km-an dari Jerusalem. Tidak bisakah mereka berdamai? Bukankah tentara Israel yang meluncurkan roket itu menyembah Tuhan-nya Ibrahim as dan Musa as? Tuhan yang sama dengan Tuhannya warga Palestina yang membalas roket dengan lemparan batu?

Wahai jiwa-jiwa yang dirasuki angkara, berdamailah. Perang tidak akan menghasilkan apa-apa, selain dendam

to 31


Yuhu....deg-degan nih! Ndak sabar nunggu besok. SemogaTEMBUS! Amien...

tahun baru yang terluputkan

Nilailah ini sebagai bentuk keprihatinan, tapi saya tidak. Saya menilainya sebagai bentuk koreksi diri. Ini tentang 1 Muharrom 1430 H. Tahun Baru Islam, tahun baru yang terluputkan.

Di akhir Desember ini ada kegalauan yang datang menghunjam. Bacalah baliho-baliho besar di pinggir jalan itu. Amati tema ”Sale” di pusat-pusat perbelanjaan. Semuanya seragam: ”Selamat Natal dan Tahun Baru 2009”

”Kemana Tahun Baru Islam?”

Saya berharap menemukannya di spanduk kampanye para Caleg DPR/DPRD, hasilnya,”Nihil!”. Sebut saya SARA. Tak apalah, saya terima, tapi ”Kemana Tahun Baru Islam?”

Saya kemudian mencoba mencarinya dalam dunia yang berbeda, spirit. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Nyaris tidak ada orang ”berhijrah.”

”Jadi, kemana Tahun Baru Islam?”

Wednesday, December 24, 2008

sahabat

Yakinlah, bukan hal yang mudah untuk menemukan atau menjadi sahabat, terlebih dengan embel-embel sejati. Dalam perspektif saya, sahabat itu teman yang lebih dari sekedar teman. Pada sahabat, saya bisa cerita, dengan tanpa ada sehela napas pun keraguan, dari hal yang remeh temeh sampai hal -yang sifatnya- rahasia. Dengan sahabat, saya bebas untuk membagi air mata bahagia dan tawa duka, tanpa takut di-cap sebagai lelaki cengeng.

Sahabat itu orang hebat. Ngga kudu jadi problems solver tapi dia mau ndengerin curhatan saya dengan sepenuh hati. Menasihati/memberi saran tanpa tiada maksud menggurui.

Untuk sesaat tadi, saya sempat berpikir untuk segera mengakhiri tulisan ini dan menulis di akhir coretan: ”Maukah Anda menjadi Sahabat Saya?.”

Tapi, sesaat selanjutnya, saya sadar bahwa, ibarat pedang, sahabat (dan persahabatan) itu lahir dari proses (penempaan) yang panjang. Ada panas, keringat dan sakit yang mewarnai proses ”pembuatannya”. Sahabat tidak harus selalu membahagiakan, memuaskan, ataupun mendukung. Ungkapan, ”Right or Wrong, You’re My Man” tidak ada dalam kamusnya. Dia tidak ragu ”menyakiti,” ”mengecewakan” dan memilih berpisah arah. Asalkan itu adalah proses menjadi lebih baik dan kebaikan.

Dengan syarat yang tidak gampang dan proses yang tidak singkat itulah plus –dan ini yang paling memberatkan- personality saya yang didominasi ”unsur negatif,” tidak heran kalo daftar sahabat saya sangat sedikit. Dan inilah ”A Few Good Man” itu:
.......
.......
Fyuh, maaf saya tidak bisa menuliskannya, karena tempat mereka bukan di sini, tapi di HATI.

Tuesday, December 23, 2008

CINTA bernama SEBELAH TANGAN.

Cinta. Ijinkanlah saya menulis satu episode lagi tentangnya.

Saya pernah merasakan sakitnya. Sakit karena cinta yang tertolak. CINTA bernama SEBELAH TANGAN.

Apakah yang engkau cari
Tak kau temukan di hatiku
Apakah yang engkau inginkan
Tak dapat lagi ku penuhi
Begitulah aku
Pahamilah aku

Mungkin aku tidaklah sempurna
Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku
Mungkin aku tak bisa memiliki
Dirimu seumur hidupku (Samsons)


Selayaknya Samsons, saya pernah sampai pada sebuah titik dimana saya tidak habis mengerti, ”Kenapa cinta saya tertolak?” Saya mematut diri: secara fisik, meski tidak ganteng-ganteng amat, tapi saya cukup yakin bahwa saya tidaklah mengecewakan. Pun demikian dengan otak. Beberapa kawan bahkan -dengan cukup meyakinkan- meyakini bahwa saya termasuk golongan ”cerdas.”
Di titik itu saya bertemu dengan Cupid. Katanya, ”Panahku hanya untukmu, tidak untuknya.” Damn! Tapi, saya bisa apa?

Itu cinta yang menempatkan saya pada posisi mencintai, tapi tidak sebaliknya. Nah, sekarang, saya menemukan kenyataan yang tidak kalah menyakitkan hati. Masih tentang CINTA bernama SEBELAH TANGAN: Saya tidak bisa mencintai seseorang yang mencintai saya.

Saya, dulu, ”membenci” orang yang membuat cinta saya tertolak. Kini, saya ada di posisi itu. ”Haruskan saya ”membenci” diri sendiri?”

”Kenapa tidak bisa?”
”Kamu nyaman, nyambung. Secara fisik dan intelegensia dia lebih dari cukup. Apa yang kurang darinya?”
Kalimat itu berdengung berkali-kali di kepala saya.

Saya berharap tidak bertemu Cupid. Saya sungguh tak punya nyali, bahkan hanya untuk mendengar kepak sayapnya.

Matahari meremang di ujung senja. Hingga gelap sempurna, saya masih belum menemukan jawabannya.

Monday, December 22, 2008

Akhirnya Indonesia tersingkir!

Sabtu kemaren. Di layar kaca televisi 21 inch: Thailand 2 : 1 Indonesia (Aggregate 3:1). Dan episode gemes tak kuwes kuwes pun berlanjut...

ibu dan jalan yang berbeda

Pukul 23.10. Saya menulis ini sesaat setelah meeeting di kantor. Meskipun sudah berkali mengalami -bahkan rutin tiap minggu- akan tetapi rapat evaluasi program selalu terasa melelahkan. Yach, sudahlah dijalani, ini bagian dari sebuah pekerjaan. Bagian dari jalan yang sudah saya pilih –setidaknya sampai saat ini- dan saya punya kewajiban untuk bertanggung jawab atas setiap langkah yang saya pilih.

Saya tidak ingin menulis tentang bagaimana lelahnya saya, atau bagaimana meeting tersebut menyisakan ”PR-PR” yang mesti saya selesaikan. Saya hanya ingin menulis tentang hari ini: 22 Desember. Hari Ibu.

Apa hubungannya?

Inilah kali pertama, saya mendapati bagaimana ucapan, ”Selamat Hari Ibu” yang saya haturkan untuk para Ibu di meeting tersebut, yang seharusnya ”biasa saja” menjadi ”luar biasa.” Saya menangkap rona penyesalan mendalam di raut para ibu itu.

”Ah, kau membuatku jadi pengen pulang Qi”

Ucapan Ibu Pemred News ini seakan mewakili para ibu itu: Associate Producer, Producers, Executive Producers, General Manager dan Presiden Direktur.

Mereka -saya bahkan tahu persis rekam jejak diantaranya- tidak sehari dua hari pulang larut, terlambat sampai di rumah. Pulang larut (bisa jadi) adalah daily activities. Apakah mereka tidak sayang keluarga? Tidak! Mereka juga ibu. Sama seperti ibu-ibu yang lain: cemas ketika anaknya sakit atau bangga ketika bayinya mulai bisa merangkak dan melonjak kegirangan ketika mendapati si kecil memanggil, ”Mamah”.
Hanya saja mereka (memang) memilih ”jalan yang berbeda”.

Saya tidak mau beradu argumen tentang ”jalan yang berbeda”. Itu adalah path yang mereka pilih, dan bagi saya, selama mereka dan keluarganya ”bertanggung jawab” terhadap pilihan tersebut, maka menghormati (pilihannya) nya adalah pilihan sikap saya.

Lalu kenapa rona penyesalan itu ada? Ya itu, karena mereka sayang pada keluarganya. Begitu dan itu yang saya tangkap. Terlalu sombong seandainya saya mengambil kesimpulan bahwa itu ada bentuk ambiguitas mereka: Sayang pada anak, tapi pulang larut jalan terus.
Mereka (memang) memilih ”jalan yang berbeda”...

Dalam derajat yang berbeda, ”jalan yang berbeda” juga saya jumpai pada Mamak, Sang Malaikat Berkerudung Putih. Tak sayangkah Beliau dengan anak-anaknya, sehingga ”rela” mengajak ketiga anaknya memulung sampah di malam hari?

Sampai di sini, saya sedikit kesusahan. Napas saya terasa berat. Mata saya sedikit berair. Saya ingin menangis. Menangis untuk Ibu saya. Ibu yang juga memilih ”jalan yang berbeda”.

Ibu memilih jalan yang sederhana, memilih mengurus kesembilan putra-putrinya, di saat kesempatan untuk mengembangkan diri begitu terbuka.

Pagi tadi, saya menelepon beliau, ”Selamat hari Ibu ya Bu. Mugi-mugi diparingi sehat.”
”Eh, matur nuwun ya. Wah, adekmu ki cen do kurang ajar. Ini hari Ibu, malah Ibu disuruh masak” jawab ibu. Terdengar nada merajuk disana. Tapi aku kemudian mendengar derai tawa kasihnya. Derai tawa yang meyakinkan aku bahwa rajukan tadi adalah sebuah kepura-puraan. Karena ibu –aku yakin sepenuhnya- tidak pernah merasa berat hati dan menyesali keputusannya untuk menjadi Ibu Rumah Tangga –apalagi untuk sekedar memasak.

Ibu, saya tahu Ibu tak pandai bahasa Inggris. Tapi Ibu, ini ada lagu yang sepenuh hati saya, ingin ibu mendengarnya:

You taught me everything
And everything youve given me
I always keep it inside
Youre the driving force in my life
There isnt anything
Or anyone I can be
And it just wouldnt feel right
If I didnt have you by my side
You were there for me to love and care for me
When skies were grey
Whenever I was down
You were always there to comfort me
And no one else can be what you have been to me
Youll always be you always will be the girl
In my life for all times

Mama, mama you know I love you
You know I love you
Mama, mama youre the queen of my heart
Your love is like
Tears from the stars
Mama, I just want you to know
Lovin you is like food to my soul
Youre always down for me
Have always been around for me even when I was bad
You showed me right from my wrong
Yes you did
And you took up for me
When everyone was downin me
You always did understand
You gave me strength to go on
There was so many times
Looking back when I was so afraid
And then you come to me
And say to me I can face anything
And no one else can do
What you have done for me
Youll always be
You will always be the girl in my life (Boyz II Men)

Ibu, lagu tadi memang panjang, tapi terjemahannya singkat kok, ”Ananda sayang Ibu, selamanya!”

Wednesday, December 17, 2008

magnet kuat bernama CPNS

”Eh, Mas..!” sapa perempuan muda berkacamata sambil tersenyum manis
”Mas..!,” timpal perempuan (yang tak kalah muda) di sampingnya
Senyum yang tak kalah manis juga terlukis dari bibir perempuan muda di sebelahnya lagi. Total jendral ada 4 gadis muda yang melemparkan senyum manis ke saya. Dan, mengingat bahwa senyum itu sebagian dari iman (hayah, cari pembenaran ceritanya), saya pun membalasnya, tersenyum semanis mungkin. Dalam hati, ”Perasaan belum buka cabang Taqi Fans Club di Jepara, kok? Mayan, mayan.... prospektif nih” :D

Masih dengan mesam-mesam dalam hati, saya berjalan pelan. Mata saya memelototi dudukan Stadion, mencari nomor Tes saya.
(Ohya, ini ceritanya saya sedang ikut tes CPNS di Jepara. Formasi: Perencana. Kursi yang tersedia: 1, yang terdaftar sebagai peserta tes 22. Jadi peluang saya, 4-5%. Insya 4JJI. Bismillah, bisalah. Amien)

Kembali ke mata saya yang melotot. Eh salah, maksud saya, kembali ke cerita di awal.

”Hey, melu juga to Mas!,” ucapan ini disertai sebuah tepukan di bahu mengagetkan saya. Saya spontan menoleh. Di belakang, saya mendapati Johan, adik kelas di Plano Undip.
”Heeh,” jawab saya singkat untuk kemudian bertanya, ”Kenal mereka ga?” Mata saya bergerak menunjuk ke arah deretan gadis-gadi muda.
”Halah, kuwi cah Plano 2003,” jawabnya ringan

Obrolan kami kemudian berlanjut dengan ringan. Sedikit basa-basi, bertanya kabar. Mata saya sesekali berkeliling. ”Kenalilah lawamu, maka kamu sudah memenangkan separuh pertempuran,” itu sebuah petuah bijak dalam buku yang pernah saya baca.
Melihat mereka, gadis-gadis muda itu, saya merasa menjadi Highlander. Secara, 99 Bo! Tapi, benarlah kata papatah, ”Di atas langit masih ada langit.” Tak jauh dari tempat duduk, di sebelah kiri, tak lama setelah menyiapkan peralatan tes saya mendapati dua orang Plano 97. Alhamdulillah...! :D

**
Tepat Pukul 09.00 Tes dimulai. Membaca soal pertama, optimisme yang saya bangun sedari Jakarta sedikit meluntur. Ini soal Tata Negara, kira-kira begini bunyinya: ”Sebagai Falsafah Hidup, Pancasila mengandung makna?” Ya Allah...! Saya beringsut ke nomor dua: ”Orde Lama ditandai dengan ketidakjelasan hubungan antarlembaga, seperti?” Robbii...! Sekelebat lalu, saya teringat sms seorang teman, ”Nek meh tes, yo kudu sinau. Wong aku wae, nek dilawanke cah baru lulus SMA wae kalah kok!”

Seketika, dalam hati, saya langsung berucap syukur sekaligus berterima kasih kepada teman tadi. Saya tidak boleh menyerah. Saya langsung memutar ulang memori saya yang semalam saya ”refresh” dengan belajar kisi-kisi soal semalaman suntuk.

Pukul 11.30, saya selesai mengisi semuanya. Setelah berdoa, saya menghela napas sesaat. Saya himpun kembali kesadaran. Mata saya kembali berkeliling. Setengah sadar saya melihat beribu orang ada di sana, berjibaku untuk sebuah pekerjaan bernama CPNS. Ketika kesadaran saya pulih seratus persen, saya semakin yakin: (Tes) CPNS memang magnet yang sangat kuat!

Hangatnya Hati Sang Biker (Trilogi Biker Beginner: 2)

Saya pernah melakukan survei kecil-kecilan, lewat sms. Pake purposive sample: orang-orang yang saya anggap kenal cukup tahu, ”Siapa sih Taqi?.” Pertanyaannya simple –nyontek sms teman- ”Deskripsikan Taqi dalam Satu Kata”

Ada 10-an orang yang saya kirimin. Tapi tak sampai separuhnya yang menjawab. Maklumlah, saya melakukan survei pada Pkl 00.00 WIB –hehehe, mumpung gratis sms-an.

Macem-macem, tapi yang paling saya inget adalah jawaban dari seorang sahabat di Tegal. ”ANEH” dia menuliskannya dengan huruf kapital. Seolah pengen menegaskan bahwa memang anehnya saya itu aneh yang tidak biasa –hmm, emang ada ya, aneh yang biasa? :D

Untuk beberapa lama, saya merasa kebingungan. Dimana anehnya?

==
”Hihihi, baru liat ada yang kayak kamu deh!” ujar seorang teman ketika kami pulang bersama
”Kenapa?”
”Aneh aja!”
”Kok?”
”Iya, bisa-bisanya ngapalin plat nomor”
”Emangnya kenapa?”
”Ya aneh aja. Hihihi..”

Saya ingat. Saya sudah hapal kode-kode wilayah dalam plat nomor sejak SD. Dan memasuki masa kuliah, ketika secara resmi ”dipasrahi” bapak untuk membawa motor sendiri, kebiasaan saya mlototin plat motor tidak susut. Dari sekedar melihat kode wilayahnya, sampe bener-bener ngapalin nomornya. Dan, paling sering saya lakukan ketika mudik bersepeda motor Semarang-Jepara, dua minggu sekali.

Semarang-Jepara, jaraknya lumyan, kira-kira 100 km-an. Biasa saya tempuh dalam waktu 2 jam-an. Selama perjalanan, saya seringkali merasa kesepian. Dan entah mengapa, rasa kesepian itu hilang ketika saya mendapati ada motor, mobil, bus atau truk yang ber-plat K. Perasaan itu bahkan menjadi ”hangat” kalo di belakang K itu ada huruf C atau L. Saat itu, saya langsung merasa bahwa saya sedang tidak (pulang) sendirian. Ya, K itu itu kode wilayah eks karesidanan Pati, sedang C/L adalah kode untuk Kab. Jepara. Tempat saya pulang.

Di Jakarta, kebiasaan ini tidak berubah. Bahkan makin menjadi. Tidak sekadar kode wilayah yang saya liatin, tapi juga nomornya, saya apalin. Dan ini biasanya saya lakukan kalo mendapati motor/mobil yang ugal-ugalan. Saya -ini nih kalo kebanyakan baca Trio Detektif-nya Hitchcock & Lima Sekawan-nya Blyton waktu SD- selalu teringat cerita-cerita detektif dimana ada sebuah peristiwa kriminal, kemudian clue awal yang dicari adalah: Plat Nomor! Dan dalam pikiran saya, kalo polisi butuh apa-apa, saya bisa seperti Jupiter Jones yang punya daya ingat ”super.” :D

Di Jakarta, tidak hanya Plat K yang membuat saya ”hangat.” Asalkan tidak B –kode Jakarta- saja sudah cukup. Biasanya, kalo melihat sebuah plat daerah, D, misalnya, saya kemudian akan membayangkan seorang teman yang berasal dari daerah itu. Mengingat hal lucu yang terjadi di antara kami.

Seperti siang itu, saya berimpitan dengan sepeda motor ber-plat GF. Ingatan saya langsung terbang pada seorang teman yang: kurus, terkesan lusuh, dan wajahnya itu lhoh. Hm..penuh welas asih..maksudnya, wajahnya memelas, mengundang belas asih. Hahaha...

”Teach me master,” itu kalimat kedua yang akan meluncur setelah ”Hi atau piye kabare?” setiap kali kami bertemu, pasca lulus kuliah. Dia ini, selalu dan –sepertinya- akan selalu begitu. Maklumlah, meskipun perkenalan kami dengan PS 2, berbarengan. Akan tetapi, dia nyaris tidak pernah bisa menang jika beradu teknik dan skill jempol di arena PS.

Saya ingat betul pertemuan terakhir kami. Waktu itu, Stadion Camp Nou masih diguyur hujan rintik-rintik ketika sebuah tendangan bebas melengkung yang sangat indah dari Andrea Pirlo merobek jala Victor Valdez. Sebuah tendangan bebas yang berhasil membuat pendukung Barcelona sontak terdiam. Camp Nou jadi sunyi. Sang teman pun hanya bisa menangisi nasib, melihat Barcelona-nya kembali takluk di tangan Milan-nya Taqi The Great :D

Mengingatnya, senyum kecil saya langsung terkembang. Dan itu, bisa membuat mood berkendara saya naik.

==
Kira-kira, cerita di tengah tadi nyambung ga dengan cerita di awal? Kalo menurut saya sih, nyambung banget. Jadi, aneh kan?
Kikikiki....

gemes tak kuwes-kuwes

”Bosok!”
Itu sms spontan yang saya tulis –ke seorang teman- begitu penunjuk waktu di kanan atas layar TV menunjukkan hanya tersisa 3 menit, untuk Timnas Sepakbola Indonesia mengejar ketinggalan dari Timnas Thailand.

Komentar saya mungkin terdengar sadis dan melecehkan. Tapi percayalah, Timnas Indonesia selalu ada di hati. Itu ungkapan ”cinta” yang gemes tak kuwes-kuwes melihat permainan Timnas yang ”tidak berpola” dan terkesan takut untuk membawa bola: bentar-bentar umpan lambung. Mosok ga sadar sih! Aduh gusti.... itu striker kita ”ceper-ceper”. Okelah, ada BePe yang ”jago udara,” tapi itu juga mestinya dengan umpan lambung yang ”akurasinya mesti OK.” Lha ini, umpan lambungnya, duh Gusti....!!!!!!

Kadung gemesnya, saya sampe teriak, ”X..X..X!” sambil seolah-olah mencet stick PS
”Apaan sih?,” ujar sepupu yang nemenin nonton –mungkin terusik dengan tingkah polah ajaib saya.
”Iya, mestinya mereka tuh maen bola bawah. Jangan lambung mulu. X, Bos, X!,” geram saya sambil kembali seolah mencet stick PS.
”Heh. Apaan sih!” ujar sepupu saya lagi
”Bodo Ah!” sengit saya sambil ngeloyor keluar rumah

Dan, masih dengan rasa gemes tak kuwes-kuwes, dalam hati saya membatin, ”Iiih, seandainya, seandainya..maen bola semudah maen PS!”