Monday, February 23, 2009

berharap dari (berita) Ponari

Sebuah kabar datang dari Jombang. Di sana ada dukun cilik. Namanya Ponari. Dia pemilik ’batu petir’ yang bisa menyembuhkan segala penyakit -dengan medium air. Kabar itu menyebar ke seantero negeri. Masyarakat -kebanyakan orang kurang mampu- berduyun-duyun datang. Mereka berharap bisa ngalap berkah (air) Ponari, sehingga sembuh dari segala penyakit.

Ponari pun menjelma menjadi sebuah fenomena. Dan media selalu akan meliput fenomena. Hampir dua minggu terakhir, berita tentang Ponari wara-wiri di media cetak, televisi dan internet. Kisahnya diulas tuntas, dimulai dari sejarah Ponari mendapatkan batu petir –yang hampir selalu diikuti dengan bumbu mistis- sampai dengan kehidupan pribadinya, yang tidak ada hubungannya dengan kesaktiannya itu: sekolahnya, keluarganya, dan kesehariannya di rumah.

Fenomena Ponari semakin menjadi setelah muncul Ponari-Ponari baru: Dewi Setiowati (13) dan Siti Rohmah (35). Mereka ini, ”tetangga Ponari” (baca: orang Jombang) dan meng-klaim memiliki ”batu sakti” yang mempunyai kekutan penyembuh. Pokoknya, tak kalah sakti lah dibanding Ponari.

Saktinya Ponari dan Ponari-Ponari lain ini rupanya membuat ”gatal” berbagai pihak untuk berkomentar –baik diminta maupun atas inisiatif sendiri, kayak saya inilah :D

  • Saya menyimak, ada dokter yang mengatakan, ”ditilik dari kacamata medis, tidak ada yang istimewa pada air Ponari ini. Besar kemungkinan kesembuhan pasien lebih karena faktor sugesti”. Saya, karena awam kedokteran, ya.. ngangguk setuju saja.
  • Di lain tempat, seorang peneliti YLKI, menerangkan ulang tentang kriteria air yang layak konsumsi. Saya menangkap ini sebagai bentuk kepedulian YLKI melihat makin banyak ”calon pasien” Ponari yang mulai terlihat seperti hilang akal, memilih mengkonsumsi air comberan di dekat kediaman Ponari. Air comberan ini, ”kata orang-orang itu”, mempunyai efek penyembuh yang tidak kalah sakti dengan air celupan ’batu petir’ karena merupakan bekas air mandi Ponari.
  • Beberapa pakar sosial-psikologis menganalisis fenomena ini. Mereka menyebutnya sebagai gejala messianisme, ”Masyarakat rindu dengan hadirnya sosok Sang Juru Selamat yang akan membebaskan dari segala kesusahan”.

Saya, dengan kemampuan yang terbatas, jelas tidak punya kapabilitas untuk berbicara seperti para ahli itu. Jadi ijinkan saya melihatnya dari kacamata pemirsa televisi dan pembaca koran yang kebetulan penikmat berita.

Ponari diangkat sebagai berita, itu betul dan wajib. News valaue-nya jelas, magnitude-nya juga besar. Hanya sayangnya, kebanyakan media, terjebak pada titik itu saja. Mereka hanya memberitakan fenomena ramainya dusun Kedungsari, kampung Ponari. ”Gambar” di televisi dan situs berita lebih didominasi oleh orang yang berdesak-desakan. Kesan yang muncul, media ini hanya memberitakan, that’s it.

Namun, seiring bergesernya hari, beberapa media mencoba keluar dari titik itu. Mereka mencoba membuat sudut pandang yang lain. Tes ”Air Ponari” dari sudut pandang medis adalah salah satunya. Misinya jelas, media-media berita ini mencoba memberikan informasi yang berbasiskan rasionalitas -sesuatu yang sangat saya apresiasi.
Yang membuat saya tersenyum simpul adalah sudut pandang yang dipakai oleh Infotainment –yang ternyata juga ’katut” fenomena ini. Mereka ”memberitakan” Ponari dari sudut pandang metafisik, dimana teropong gaib paranormal menjadi narasumbernya.

Hanya saja, saya masih saja merasa kurang. Informasi tentang Ponari –sejauh yang saya ikuti- masih terkesan berat sebelah –lebih didominasi tentang kabar kesembuhan. IMHO, media berita seharusnya bisa menggali lebih dalam lagi. Saya membayangkan –dan mengharapkan- adanya pemberitaan yang lebih mendalam. Saya punya keyakinan bahwa ”Air Ponar” tidak manjur 100%. PASTI ada pasien yang belum sembuh, meskipun telah meminumnya.

Ini bukan berarti saya sentimen dengan Ponari. Saya hanya ingin adanya pemberitaan yang ”lebih berimbang’. Jangan hanya mewancarai, atau mencari kesaksian dari mereka yang sembuh. Cari pulalah kesaksian dari ”mereka yang belum sembuh”. Pemberitaan yang berimbang ini akan membuat masyarakat akan lebih terinformasi- meskipun rasanya sulit untuk menghentikan orang-orang itu mengkonsumsi air Ponari, karena efek irasionalitas lebih dominan di sini. Sehingga apapun pilihan mereka, itu adalah refleksi dari sebuah kesadaran memilih. Bukan karena kabar burung, atau berita-berita yang ”secara tidak sadar ikut menggiring” mereka untuk hanya percaya bahwa mereka pasti sembuh. IMHO, bukankah ini salah satu tanggung jawab media: tidak hanya memberitakan namun juga menjadi salah satu stakeholder dalam usaha mencerdaskan bangsa?

Toh, jika di kemudian hari –setelah ada pemberitaan tentang ”pasien gagal”- ”tetap bisa disimpulkan” bahwa ”Air Ponari adalah benar berkhasiat menyembuhkan”, bukankah ini akan menjadi sebuah Good News untuk perkembangan medis, di Indonesia khususnya?
Atau sebaliknya, kalo kemudian ini ”dapat disimpulkan” sebagai irasionalitas yang merupakan bentuk/refleksi dari keputusasaan -dari masyarakat kecil-kurang mampu- karena susahnya mendapatkan akses layananan kesehatan yang murah dari pemerintah, maka biarlah berita ini membuka mata hati mereka. Menggerakkan nurani para petinggi negeri ini untuk cancut taliwondo, menyisingkan lengan baju, berusaha sepenuh hati memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, murah dan mudah diakses oleh segenap warga negaranya.

Jadi, beritakanlah tentang ”mereka yang belum sembuh ini”...



Note: tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Tuesday, February 17, 2009

jatuh cinta


aku sudah memutuskan. aku jatuh cinta pada mereka....

pop rock

”Lagi In”. Itu mungkin kata pas –setidaknya di persepsi beberapa ABG yang saya temui- untuk menggambarkan pemuda itu: pencil jeans, gelang karet dan kaos oblong, plus gaya rambut semi mohawk dan anting2 kecil menghiasi kiri telinga.

Pemuda itu memegang mikrofon, sedang menyanyi. Di selarik bait, mikrofon itu ”dilemparkan” ke arah penonton –yang sebagian besar ABG- dan dengan histeria meneruskan bait-bait lagunya. Mereka hapal di luar kepala. Pemuda itu: vokalis band.

Tak lama berselang, datang pemuda yang berbeda. Tampilannya: seragam. Musik yang diusung: ”11-12”. Tapi itu tidak mengurangi antusias para ABG. Mereka histeris, tidak berhenti bernyanyi, ”mengiringi sang vokalis”.

Saudara, pembaca yang budiman, itulah wajah industri musik pop sekarang. Bukan-bukan, saya ralat itulah wajah indistri musik kita sekarang. Tak percaya? Percayalah! Jangankan jazz dan rock, dangdut, yang katanya musik rakyat aja, udah lewat!

Musiknya, di-aku dan dilabeli pop rock. Pop karena nadanya memang nge-pop, dan rock, hm..., ini yang saya susah untuk mencarinya. Mungkin –ini mungkin lho, karena saya memang awam di musik- ada di gaya tampilan mereka: dandanan dan cara bernyanyi.
++
Musik, sebagaimana cipta-kreasi lainnya, telah berkembang menjadi industri. Dan industri akan selalu patuh pada permintaan pasar –selama belum bisa ”menciptakan pasar.” Ketika musik pop rock booming, itu artinya anda harus siap mendapati telinga anda menjadi penuh dengan suara-suara vokalis band itu. Kenapa? Karena kaset, cd, dvd, radio dan televisi, ya isinya akan itu-itu saja.

Bosen? Jangan! Di luar sana ada beberapa band ada yang ’keluar” dari mainstream. Mereka tidak ragu bermain di area jazz, etnik, atau bahkan pure ke rock. Apakah ini berarti saya alergi dengan pop rock? Wah, jangan salah. Saya hanya ingin bilang bahwa saya bersyukur sekali pada keberadaan band yang sedikit ini. Mereka memberi warna lain.

Wednesday, February 11, 2009

untuk kamu

jarik lurik suwek pinggire, tiwas nglirik ono sing nduwe..

kuingin kau tau
kubergetar merindukanmu
hingga pagi menjelang (S07)

waktu

nek dienteni, rasane suwi (opo meneh nganggo bumbu "in bad mood")

nek rak dienteni, rasane cepet banget