Tuesday, April 12, 2011

kok ya makin seragam?

Judul di atas, saya yakin, bukan sesuatu yang baru. Namun, terus terang, ada kegelisahan yang mendalam melihat (program) televisi saat ini. Hampir tidak ada lagi pembeda antarstasiun televisi. Semuanya kini (semakin) terlihat sama dan seragam.

Menciptakan sesuatu yang benar-benar baru adalah masalah sekaligus tantangan terbesar bagi setiap insan pertelevisian. Godaan dan tekanan untuk mendapatkan rating-share-image (yang kemudian akan berujung pada pendapatan dari iklan) adalah salah satu pembenar untuk "menjiplak." Saya, Insya Allah, mafhum.

Tapi, ya itu dia, "Kok ya makin seragam?"
"Halah, gerek nonton, gratis, wae kok protes!. Pengen penak, yo pake TV berbayar" begitu kata hati saya satu saat.

Tapi?
"Halah, ga tapi-tapi an. Koyok ga ngerti ae. Ini ilmiah lho! Ada survey-nya. Program-program yang seragam itu-lah yang rating & share-nya gede. Jadi, itu gambaran, kalo memang pemirsa televisi kita memang sukanya ama yang sedang seragam," batin saya, lagi.

Jangan-jangan pilihan terbaik saat ini -memang- mematikan TV dan mulai belajar (untuk) mendongeng lagi.

jalan ekonomi

Seorang teman yang sedang menempuh tugas belajar membuat tulisan yang menarik tentang perekoniman. Intinya mencoba mencari jalan tengah, jalan terbaik, madzhab ekonomi apa yang sebaiknya dianut Indonesia?

Saya melihat bahwa jalan itu sudah ada, tertulis jelas dalam konstitusi: Pasal 33 UUD 1945. Masalah terbesar yang dihadapi adalah ketiadaan komitmen. Ada jurang lebar antara perkataan dengan perbuatan.


Jalan keluar sudah terlihat. Penunjuk arahnya pun terang benderang. Sekarang tinggal will-nya. Mau atau tidak?

kaos timnas

Jerman, Italia dan Belanda.

Perhatikan baik-baik. Ketiga negara ini punya kaos timnas bola yang cihuy punya: model dan warnanya(!).

Oke, let's see. Pertama, Jerman. Seperti Mercy. Itulah gambaran yang tepat untuk menggambarkan kaos timnasnya. Sederhana, klasik namun (tetap) elegan. Mereka istiqomah dengan putih klasiknya.

Kedua, Italia. Bbeeh... Coba tanya, cewek mana yang ga tergopoh-gopoh dengan pemain bola dari Italia? Apakah karena mereka ganteng? Betul sih! Tapi itu bukan alasannya. Mari kita melihatnya dari sisi trend mode dunia. Pemain-pemain Italia itu terlihat oke karena ditunjang dengan desain kaos bola yang fashionable. Italia adalah negara pertama yang memperkenalkan gaya baju "mleketet" yang bikin body-body yahud pemainnya ter-ekspose dengan sempurna. Weits... tunggu dulu, jangan bilang kalo saya suka cowok. Engga lah, masih normal, bo! Buat saya, kaos mereka yang biru itu keliatan sangat indah saat dipadukan dengan permainan catenaccio. Gampangnya, saya yang kerempeng dan minus ganteng ini pun terlihat layaknya,... ehm..ehm.., kalo make kaos ini ;)

Ketiga, Belanda. Untuk yang satu ini, saya ga banyak cakap. Cukup satu kata: Oranye! ;)

Wah, Indonesia-nya manna? Sorry, kalo, ini ga masuk itungan, karena maqom-nya uda beda ;)


ku menunggu

ku menunggu, ku menunggu kau putus dengan kekasihmu
tak akan ku ganggu kau dengan kekasihmu
ku kan selalu di sini untuk menunggumu

cinta itu ku berharap kau kelak kan cintai aku
saat kau telah tak bersama kekasihmu
ku lakukan semua agar kau cintaiku

reff:
haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
ada cemburu juga rindu
ku tetap menunggu

haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
dan kau sudah ada yang punya
ku tetap menunggu

datang padaku, ku tahu kelak kau kan datang kepadaku
saat kau sadar betapa ku cintaimu
ku akan selalu setia tuk menunggumu

repeat reff

haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
ada cemburu dan juga rindu
dan aku tetap menunggu

haruskah ku bilang cinta
hati senang namun bimbang
dan kau sudah ada yang punya
ku tetap menunggu

(aku tetap menunggu) ku tetap menunggu
(aku tetap menunggu) ku tetap menunggu
ku tetap menunggu

==
aseli, lagi demen banget dengan lagu ini...

gaul ala pegawai ;)

"Jadi pegawai, ga hutang, ya ga gaul"

Itu guyonan yang dilontarkan salah satu pejabat. Tapi, lucunya -setidaknya dalam pandangan saya- guyonan ini benar-benar pas untuk menggambarkan bagaimana "fenomena berhutang" di kalangan pegawai (PNS). Asli (!) hampir 100% pegawai yang saya kenal pasti punya hutang.

Maunya sih, tidak berhutang. Tapi apa mau dikata?
Alasannya, macem-macem: (1). Untuk sekolah: nglanjutin ke jenjang yang lebih tinggi dan nyekolahin anak; (2). Beli kendaraaan : ganti sepeda jadi motor, ganti motor jadi mobil, ganti mobil dengan yang lebih baru; (3). Modal kawin (hehehe, beneran loh!); (4). Investasi/modal usaha: beli tanah, beli sapi; (5). Rehab/Beli rumah, ini jadi #1 alasan berhutang.

Maunya sih, tidak berhutang. Tapi apa mau dikata?
Syarat berhutang untuk pegawai, asli gampang. Modal dasarnya: nyekolahin SK CPNS/PNS di Bank.

Maunya sih, tidak berhutang. Tapi apa mau dikata?
Jadi, Ayo ke Bank! :P


Sunday, April 10, 2011

fenomena jalak kebo

Saya berhutang tulisan ini, tentang "Fenomena Jalak Kebo".

Saya akan mencoba menuliskannya panjang lebar, yach.. lagaknya orang yang pandai menulis lah, padahal..hehehe....

Sebenarnya ini cuma istilah yang "ngawur." Lha wong semua hanya berdasarkan pada perspektif pribadi kok. Saya akan mencoba mendeskripsikannya sebaik yang saya bisa.
==
Identitas diri itu perlu, karena memang disanalah eksistensi seseorang. Hanya saja, seringkali, identitas diri itu ditonjolkan dengan cara yang berlebihan, sehingga -meskipun tidak disadari- berujung pada kesombongan/pamer.

Teman saya, janganlah, ga usah bawa-bawa teman, saya saja, cukup jadi contohnya. Dulu, dengan menyandang status karyawan di sebuah stasiun nasional, saya selalu merasa superior setiap kali bertemu dengan teman-teman lama, apalagi kalo dari kampung dan kuliah. Saya merasa. "Ini lho, aku saiki wis sukses!" Kepongahan yang semakin menjadi apabila lawan bicara menyambutnya dengan "penuh kekaguman." Padahal, saya ini bukan siapa2 di tempat kerja. Hanya staf biasa. Sama sekali bukan "orang sukses." Orang jawa bilang, saya ini "nyende wit jati." Saya hanya ndompleng nama besar perusahaan.

Saya juga akan dengan bangganya, masuk ke mall dan pasar dengan berseragam kantor. Motifnya, pamer! (Hih...!). Saya ingin melihat orang melihat, menoleh dan memandang penuh kagum. Padahal, saya bukan staf yang bekerja di lapangan, yang memang dituntut untuk berseragam dalam setiap liputan. Saya hanya staf kantoran.

Saya dengan santainya mengirim pesan pendek ke setiap kenalan di saat hari raya dengan membawa-bawa nama perusahaan di belakang nama saya. Motifnya, pertama sih, biar orang ngeh kalo yang ngirim itu saya (maklumlah nama saya rada "pasaran" ;) ) tapi lama-lama...Pamer! Padahal, semua semu belaka. Yang saya "pamer-kan" itu kantor saya, bukan saya.

Saya seperti (burung) jalak kebo. Kecil, tapi ingin selalu terlihat besar. Identitas yang saya bangun bukan identitas diri saya yang sebenarnya. Saya, tanpa sadar, telah menghilangkan identitas saya sendiri sebagai sebuah manusia.

Saya lupa dan alpa, bahwa identitas itu seharusnya dibangun melalui kerja keras dan integritas. Menjadi "terkenal" karena buah dari kemampuan diri sendiri, tanpa perlu mendompleng nama besar perusahaan, trah keluarga ataupun title yang melekat. Jadi cukuplah saya dikenal sebagai saya: Taqi. Itu saja, cukup.





Saturday, April 9, 2011

jalan terbaik

Seandainya, saat itu aku begini, pasti aku sekarang begini. Ah, seandainya aku mengambil kesempatan itu, pasti semuanya tidak begini. Seandainya...seandainya...!

Sejarah tidak mengenal pengandaian. Pasrahkan pada keputusan-Nya. Percayalah itu yang terbaik.

kang parmo

Hujan. Di dalam becak, Kang Parmo meringkuk. Tubuhnya membentuk busur. Tangannya menarik kedua lututnya hingga beradu dengan kepala. Berharap ada cukup kehangatan untuk melawan dinginnya malam.

Gagal. Kang Parmo, menyentak lemah. Hujan turun semakin deras. Dingin semakin menggigit. Kang Parmo meraba "dompetnya", sebuah plastik lusuh. Hanya ada selembar sepuluh ribuan di sana. Itu hasil mengayuh seharian ini.

Kang Parmo menggigil, terbayang suara anaknya, "Pak'e, adek pengen maem telur. Mangke, tumbaske ya!"
===

"Lha, niki mangke badhe didhamel pripun Mas? Nawi saged ampun dibongkar, kersane kulo cobi akali" ujar Kang Parmo sambil membongkar peralatan tukangnya. "Monggo lah Kang!" jawabku sambil mengaduk teh hangat untuknya. Hari itu, kran air dapur rusak. Tandon air juga bermasalah. Dapur, kebanjiran.

Kang Parmo segera bekerja, bergerak tangkas. Sebentar saja, peluh nampak membasahi lengannya yang legam. Alam menempa tangannya: kasar dan keras.
===

"Monggo, Pak. Sandal, sepatune. Mirah. Kaleh doso, saged kirang," sapa Kang Parmo pada setiap pengunjung yang lewat di depan "kiosnya", sebuah pick up hitam dengan terpal biru di trotoar depan kantorku. Malam itu sedang terang. "Alhamdulillah, dagangan hari ini lumayan rame Mas." Senyumnya berkembang.
===

"Kulo sampun nate kerjo macem2 Mas, sing penting Halal. Sakniki pun syukur sanget. Saged nyambi sadean," ujarnya dalam sebuah perbincangan ketika menemaniku lembur. Malam itu, dia piket jaga malam. Kang Parmo meniti hidupnya dengan penuh kesyukuran.