Jokowi telah menjadi
sebuah fenomena. Masyarakat mengelu-elukannya. Media? Tak usah ditanya lagi. Setiap
gerak langkahnya adalah berita. Dia: media
darling.
Ketika menulis
ini saya iseng mengetikkan Jokowi di search
engine Google. Hasilnya: 17 jutaan berita dalam 0.25 detik. Jauh melewati Megawati
yang ”hanya” 4.21 jutan dan Prabowo Subianto yang mencapai 1.888 jutaan. Angka
ini hanya kalah oleh SBY yang mencapai 19.4 juta-an. Namun yang menarik, ketika
ditulis Joko Widodo, angkanya tetap tinggi, mencapai 11.8 jutaan, mengalahkan
Susilo Bambang Yudhoyono (2.96 jutaan). Angka-angka ini –meskipun masih sangat basic- menjadi pembenar bahwa dalam
kancah perpolitikan nasional, Jokowi is Indonesia’s
Rising Star.
Saya pribadi
melihat Jokowi sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa
darinya. Bahkan sempat, pada satu titik saya merasa bahwa media terlalu lebay memberitakannya. Menurut saya,
Jokowi hanya melakukan tugasnya. Dia melakukan apa yang memang seharusnya
seorang pemimpin lakukan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Ya, dalam
perspektif pribadi saya, Jokowi hanya melakukan simple thing : mengambil keputusan. Meski demikian, tidak bisa
dielakkan bahwa simple thing itu
tidak lagi sesuatu yang simple, namun
telah menjadi big thing. Thus, bagi orang-orang yang ”sadar”, keberadaan
Jokowi menjadi sebuah symptom:
kerinduan masyarakat akan pemimpin yang mau melakukan pekerjaan apa yang seharusnya
seorang pemimpin lakukan.
Pada titik ini,
saya kemudian berbalik arah, menjadi seseorang yang meyakini bahwa Indonesia
memerlukan pemimpin daerah dengan spirit
Jokowi –dengan asumsi bahwa Jokowi yang ada di layar kaca bukanlah aktor yang
sedang berakting dengan apik dalam sebuah opera sabun berjudul blusukan. Pada titik ini pula saya
termasuk orang memutuskan untuk tidak memilih Jokowi sebagai Presiden –jika memang
kemudian dia benar-benar masuk dalam Capres pada Pilpres 2014 nanti.
Menurut saya, jika
model desentralisasi saat ini tidak berubah, dimana kewenangan banyak yang berpindah
ke Bupati/Walikota, sementara peran Gubernur –kecuali Gubernur DKI, yang diberi
kewenangan memilih dan mengangkat Walikotanya- ”tak lebih dari sekedar
koordinator,” maka pemimpin dengan gaya blusukan dan langsung mengambil di
lapangan, jauh lebih diperlukan pada tingkat kabupaten/kota. Masyarakat di
tingkat kabupaten/kota lebih membutuhkan model pemimpin ini. Ada jarak yang
terlalu jauh antara (keputusan) Presiden dengan masyarakat di level desa.
Ada sebagian
orang yang berpendapat bahwa Jokowi perlu menjadi Presiden agar bisa menjadi role model bagi pemimpin daerah lainnya.
Menurut saya, itu tidak perlu. Jika memang perlu role model, tinggal tengok TV atau berita saja. Kurang apa coba media
memberitakannya?
Dalam kondisi
transisi menuju pemerintahan yang melayani, masyarakat di level bawah (kabupaten/kota)
perlu pemimpin yang bisa hand in hand,
setiap saat hadir di tengah-tengah mereka. Dan itu ada di level
Bupati/Walikota, bukan Presiden.
Alasan lainnya
adalah biarlah Jokowi (dan Ahok) berkonsentrasi menata Jakarta. Menyelesaikan
masa baktinya. Jika ada yang mengatakan bahwa Jokowi akan kehilangan momentum, maka
itu ada benarnya. Politik memang seringkali ditentukan oleh suatu momentum.
Namun, saya meyakini bahwa seperti halnya kesempatan, momentum bukanlah sesuatu
yang hanya datang sekali dan harus ditunggu hadirya. Momentum bisa diciptakan dan
akan menghampiri orang yang bersungguh-sungguh berusaha. Dan itu juga berlaku
untuk Jokowi. Dengan performance yang
baik dan konsisten (dalam menata Jakarta), melihat foto Jokowi terpasang di
tiap-tiap dinding kelas dan kantor hanyalah masalah waktu saja.
--