Thursday, May 28, 2009

esem-mu, pait madu

Kalo saja ada istilah orang Jawa yang "durhaka" maka bisa dipastikan ingsun ini ada di antrean terdepan yang terancam katut stempel ini. Yaiyalah, lha wong meskipun Jawa, tapi ingsun ini sama sekali ga njawani. Satu-satunya yang menyelamatkan mungkin logat jawa yang memang sudah gawan bayi.

Nah, demi mengeluarkan diri dari antrean terdepan, ingsun dengan penuh kesadaran diri mencoba untuk belajar lagi tentang jawa. Pelajaran pertama: Boso Jowo.

Untungnya –ini khas wong Jowo, meskipun “kesusahan” selalu ada untungnya :D – lingkungan dan suasana baru ingsun sekarang ini sangat mendukung. Ingsun bisa belajar lagi how to speak Kromo Inggil, langsung dengan native speaker: Bapak-Ibu, atasan, teman sekantor. Bahkan, orang yang baru kenal pun bisa menjadi native speaker, kayak kemaren itu. Lagi enak-enak nongkrong di depan rumah, tiba-tiba ada orang tanya, “Nyuwun sewu, menawi badhe ten Komplek X, medhal pundhi nggih?”. Tuh kan? Pokoke di sini banyak banget native speaker :D .

Kemudahan itu, ndak cuman di soal speaking. Soal written juga. Di sini “artefak-artefak” Jawa masih bisa dijumpai. Yang paling keren, tentu saja: Uleman.

Hahaha... waktu pertama kali baca, ingsun tidak bisa menyembunyikan rasa takjub. Bayangkan, ada uleman (surat undangan, red) yang ditulis dengan Bahasa Jawa Alus, yang bisa membuat ingsun dengan khusyu’ mengernyitkan dahi, sambil mbathin, “Nek aku sing nggawe, butuh wektu sedinoan, gung mesti kelar. Edan tenan.” :D

Dua minggu, Boso Jowo ingsun, Alhamdulillah, pulih kembali. Yach, Oral: Fluent, Written: so so lah, hahaha....

Jadi, cekap semanten atur kawulo. Menawi wonten kalepatan, nyuwun samudraning pangaksami.
.
.
.
.
.
.
.
...

Eh, eh, ada additional note nih. Kemaren, ingsun membaca buku pintar bahasa Jawa, buku pendamping untuk Boso Jowo kelas dasar. Di sana ingsun ketemu lagi ama yang namanya Parikan, Saloka, Paribasan, Kretho Boso, lan liya-liyane.

Sehingga, menutup jumpa kita di sini, ijinkan ingsun menulis hal indah tentang panjenengan, Cah Ayu:

wedhang bubuk, gulo jowo. Yen wis pethuk, ati lego
tuku dingklik neng serayu. Esem-mu, Dik, pait madu ;)

Wednesday, May 27, 2009

bangku kosong

Bukan. Ini bukan tentang sebuah film ber-genre horror itu. Ini tentang sebuah bangku kusam di sebuah ruang yang menyisakan kenangan. Bangku yang kini telah kosong. Bangku yang meskipun tak lagi berpenghuni, mampu dan masih terus membuat kepalaku tak pernah berhenti menoleh sesaat untuk melihat sekejap ke arahnya. Berharap melihat keberadaanya.

Bangku itu kini kosong. Tidak ada jaket yang tersampir dan sebuah tas di atasnya. Bangku itu kosong. Meninggalkan rongga di hati....

Wednesday, April 8, 2009

rain can't wash away (2)

Jangan pernah percaya, hujan bisa menghapus jejak. Yang ada, kamu akan semakin didera (luka).

aku telah terbiasa sesak napas
menghirup luka
aku akan meyakinkanmu
meski dengan napas yang tersengal
KAMU SALAH MENILAIKU

aku tidak pernah bisa percaya hujan bisa menghapus luka


Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Andai saja.. Cintamu seperti cintaku

Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Coba saja lukamu seperti lukaku (So7)

syndrome...

Membayangkan senin, di saat long weekend menanti, membuatku ”membenci” minggu ini.....
Ahai, keliatan banget ya, malesnya :D

= i hate Monday, mode on ;) =

quick count

Besok, jika tidak ada aral, adalah hari besar: PEMILU LEGISLATIF 2009. Bukan. Saya tidak -lebih tepatnya belum- ingin membicarakan siapa yang menang dan kalah. Ada hal lain yang menarik perhatian saya, yaitu QUICK COUNT (QC).

QC, menjadi menarik karena di sinilah saya bisa menyaksikan the real battle dari beberapa lembaga riset (LR). Mereka kini akan beradu cepat dan tepat. Ini adalah pertaruhan besar. Berbeda dengan riset ”independen” yang biasa mereka lakukan, QC praktis menutup ruang untuk ”manipulasi data” karena di ujung akhir penghitungan ada data pembanding (yang menjadi parameter utama) : penghitungan manual KPU. Nggak usahlah sampai hasilnya berbeda. Cukup dengan hasil QC yang memiliki gap terlalu lebar dengan hasil KPU, maka dipastikan kredibilitas dan kapasitas LR akan dipertanyakan. Dari sisi bisnis, jelas ini kruisal karena kredibiltas dan kapasitas adalah jualan utama dari sebuah LR. Dan, ketika kedua hal ini diragukan maka bukan tak mungkin mimpi buruk tutup buku akan menjadi kenyataan.

Menarik, bukan?


PS: jangan lupa, ayo nyentang!

pengalaman buruk

Seorang bercerita, bagaimana dia merasa makin tidak nyaman di lingkungan kerjanya. Katanya, ”Kok ya ada ya? Bikin data untuk kepentingan sendiri kok ya ”dimanipulasi?” Kaidah-kaidah dasar riset diterjang. Sing penting Bos seneng liat hasilnya. Oalah, jan, dunyo ki memang memabukkan, Gusti...!”

Tuesday, March 24, 2009

senyum matahari

Aku masih terpukau dengan senyumnya. Senyum Matahari. Senyum dari hati, mata dan bibirnya. Kini, senyum itu menghilang, untuk sebuah alasan yang aku sendiri tak berani mencari jawabnya..

Friday, March 20, 2009

seperti bintang -yovie & nuno

andai saja engkau tahu
resahku karenamu
andai aku dibenakmu
alangkah indah dunia

bila ada satu nama kurindu
slalu sebutkan dirimu

reff:
seperti bintang indah matamu
andaikan sinarnya untuk aku
seperti ombak debar jantungku
menanti jawabanmu

pernah aku dengar darimu
engkau kini sendiri
namun adakah kau dengarkan aku
yang benar inginkan kamu

Back to reff:

mungkin aku terlalu
berharap dan tak tentu
akankah ada
di hatimu

lagunya, keren banget.. membuatku merindukanmu...

si kacau dan bodoh

(Kalo ada tulisan yang saya menulisnya dengan perasaan sedih, sekaligus malu hati, maka inilah salah satunya)

Seorang teman bercerita di blog-nya tentang uban. Itu mengingatkan pada sebuah cita-cita ’kacau’ saya ketika masih bocah: ”Pengen Ubanan.” Alasannya sederhana, saya melihat guru-guru mengaji saya, yang kebanyakan beruban, adalah sosok yang ”wise”. Jadi, buat saya, ubanan itu keren. Uban itulah yang membuat guru-guru mengaji saya menjadi ”wise” :D

Saya menyadari, kalo ”ubanan’ itu bukan penyebab mereka ”wise.” Bukan dari ilmu alam yang saya pelajari, tapi dari pengalaman pribadi. Sudah sejak 4 tahun yang silam saya beruban. Tapi, nyatanya? boro-boro jadi "wise". Mendekati pun, tidak!

Saya mencoba menengok kembali sosok guru-guru mengaji saya. Mereka cenderung pendiam. Bicara seperlunya dan pada waktunya. Saya sempat berpikir bahwa mereka itu sebenarnya ”tidak tahu,” cuman ”menang keren” karena ada predikat ”Guru.” Saya bahkan pernah dengan sombongnya, nge-tes. Bertanya sesuatu yang sebenarnya sudah tahu jawabannya –saya bener-bener malu hati ketika mengingat ini.

Ternyata, mereka bukan tidak tahu. Pengetahuan mereka bahkan jauh melampaui dari yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Mereka –hanya!- tidak suka pamer (ilmu). Mereka diam dalam kedalaman ilmunya. Mereka lebih memilih mendengarkan daripada berbicara. Mereka, MENGAGUMKAN! : ”Semakin mengetahui, semakin sadar bahwa ada banyak hal yang belum diketahui...”

Dan saya pun kemudian mendapati bahwa bukan (hanya) cita-cita saya yang "kacau", tapi saya-nya sendiri (yang) kacau dan bodoh!

Alhamdulillah...

”Bagaimana Qi? Mau tidak? Aku tidak bisa sendirian. Aku udah sampein, kalo aku maunya kamu.
”Kenapa saya Mas?”

(Dialog pun terus berlanjut......)

Alhamdulillah. Ketika saya sudah sampai pada satu titik ”keputus-asaan” ALLAH menunjukkan bahwa Dia Maha Adil. Dua instansi menyampaikan ketertarikan diri. Insya Allah, satu sudah di tangan, satu lagi, tinggal menunggu kesediaan saya bergabung.
Alhamdulillah...

kenapa takut?

Tidak habis pikir. Kenapa ada seseorang yang begitu takut untuk berbagi ilmu. Meng-keep semua keilmuannya hanya untuk dirinya sendiri. Takut orang lain menjadi lebih pintar?. Takut jika orang lain yang kemudian menjadi pinter karena telah dibagi ilmu olehnya itu kemudian mengalahkannya?. Membuatnya menjadi tidak lagi menjadi sosok penting, karena bukan lagi ”the only one who knows”?

Kenapa???

Ada yang mau membantu saya memberikan jawabannya?

Wednesday, March 4, 2009

egoistis antara benci dan cinta

kata kamu, ”Ada jarak yang tipis di antara keduanya”. Btw, aku:
  • tidak mau membencimu, mau dibenci olehmu
  • cinta... wah, aku belum paham makna kata ini

aku juga mau:
aku (di)SAYANG kamu... (tapi kamu boleh tidak [sayang] kok..)

Jadi, kamu: SEMANGAT ya!
:D

Monday, February 23, 2009

berharap dari (berita) Ponari

Sebuah kabar datang dari Jombang. Di sana ada dukun cilik. Namanya Ponari. Dia pemilik ’batu petir’ yang bisa menyembuhkan segala penyakit -dengan medium air. Kabar itu menyebar ke seantero negeri. Masyarakat -kebanyakan orang kurang mampu- berduyun-duyun datang. Mereka berharap bisa ngalap berkah (air) Ponari, sehingga sembuh dari segala penyakit.

Ponari pun menjelma menjadi sebuah fenomena. Dan media selalu akan meliput fenomena. Hampir dua minggu terakhir, berita tentang Ponari wara-wiri di media cetak, televisi dan internet. Kisahnya diulas tuntas, dimulai dari sejarah Ponari mendapatkan batu petir –yang hampir selalu diikuti dengan bumbu mistis- sampai dengan kehidupan pribadinya, yang tidak ada hubungannya dengan kesaktiannya itu: sekolahnya, keluarganya, dan kesehariannya di rumah.

Fenomena Ponari semakin menjadi setelah muncul Ponari-Ponari baru: Dewi Setiowati (13) dan Siti Rohmah (35). Mereka ini, ”tetangga Ponari” (baca: orang Jombang) dan meng-klaim memiliki ”batu sakti” yang mempunyai kekutan penyembuh. Pokoknya, tak kalah sakti lah dibanding Ponari.

Saktinya Ponari dan Ponari-Ponari lain ini rupanya membuat ”gatal” berbagai pihak untuk berkomentar –baik diminta maupun atas inisiatif sendiri, kayak saya inilah :D

  • Saya menyimak, ada dokter yang mengatakan, ”ditilik dari kacamata medis, tidak ada yang istimewa pada air Ponari ini. Besar kemungkinan kesembuhan pasien lebih karena faktor sugesti”. Saya, karena awam kedokteran, ya.. ngangguk setuju saja.
  • Di lain tempat, seorang peneliti YLKI, menerangkan ulang tentang kriteria air yang layak konsumsi. Saya menangkap ini sebagai bentuk kepedulian YLKI melihat makin banyak ”calon pasien” Ponari yang mulai terlihat seperti hilang akal, memilih mengkonsumsi air comberan di dekat kediaman Ponari. Air comberan ini, ”kata orang-orang itu”, mempunyai efek penyembuh yang tidak kalah sakti dengan air celupan ’batu petir’ karena merupakan bekas air mandi Ponari.
  • Beberapa pakar sosial-psikologis menganalisis fenomena ini. Mereka menyebutnya sebagai gejala messianisme, ”Masyarakat rindu dengan hadirnya sosok Sang Juru Selamat yang akan membebaskan dari segala kesusahan”.

Saya, dengan kemampuan yang terbatas, jelas tidak punya kapabilitas untuk berbicara seperti para ahli itu. Jadi ijinkan saya melihatnya dari kacamata pemirsa televisi dan pembaca koran yang kebetulan penikmat berita.

Ponari diangkat sebagai berita, itu betul dan wajib. News valaue-nya jelas, magnitude-nya juga besar. Hanya sayangnya, kebanyakan media, terjebak pada titik itu saja. Mereka hanya memberitakan fenomena ramainya dusun Kedungsari, kampung Ponari. ”Gambar” di televisi dan situs berita lebih didominasi oleh orang yang berdesak-desakan. Kesan yang muncul, media ini hanya memberitakan, that’s it.

Namun, seiring bergesernya hari, beberapa media mencoba keluar dari titik itu. Mereka mencoba membuat sudut pandang yang lain. Tes ”Air Ponari” dari sudut pandang medis adalah salah satunya. Misinya jelas, media-media berita ini mencoba memberikan informasi yang berbasiskan rasionalitas -sesuatu yang sangat saya apresiasi.
Yang membuat saya tersenyum simpul adalah sudut pandang yang dipakai oleh Infotainment –yang ternyata juga ’katut” fenomena ini. Mereka ”memberitakan” Ponari dari sudut pandang metafisik, dimana teropong gaib paranormal menjadi narasumbernya.

Hanya saja, saya masih saja merasa kurang. Informasi tentang Ponari –sejauh yang saya ikuti- masih terkesan berat sebelah –lebih didominasi tentang kabar kesembuhan. IMHO, media berita seharusnya bisa menggali lebih dalam lagi. Saya membayangkan –dan mengharapkan- adanya pemberitaan yang lebih mendalam. Saya punya keyakinan bahwa ”Air Ponar” tidak manjur 100%. PASTI ada pasien yang belum sembuh, meskipun telah meminumnya.

Ini bukan berarti saya sentimen dengan Ponari. Saya hanya ingin adanya pemberitaan yang ”lebih berimbang’. Jangan hanya mewancarai, atau mencari kesaksian dari mereka yang sembuh. Cari pulalah kesaksian dari ”mereka yang belum sembuh”. Pemberitaan yang berimbang ini akan membuat masyarakat akan lebih terinformasi- meskipun rasanya sulit untuk menghentikan orang-orang itu mengkonsumsi air Ponari, karena efek irasionalitas lebih dominan di sini. Sehingga apapun pilihan mereka, itu adalah refleksi dari sebuah kesadaran memilih. Bukan karena kabar burung, atau berita-berita yang ”secara tidak sadar ikut menggiring” mereka untuk hanya percaya bahwa mereka pasti sembuh. IMHO, bukankah ini salah satu tanggung jawab media: tidak hanya memberitakan namun juga menjadi salah satu stakeholder dalam usaha mencerdaskan bangsa?

Toh, jika di kemudian hari –setelah ada pemberitaan tentang ”pasien gagal”- ”tetap bisa disimpulkan” bahwa ”Air Ponari adalah benar berkhasiat menyembuhkan”, bukankah ini akan menjadi sebuah Good News untuk perkembangan medis, di Indonesia khususnya?
Atau sebaliknya, kalo kemudian ini ”dapat disimpulkan” sebagai irasionalitas yang merupakan bentuk/refleksi dari keputusasaan -dari masyarakat kecil-kurang mampu- karena susahnya mendapatkan akses layananan kesehatan yang murah dari pemerintah, maka biarlah berita ini membuka mata hati mereka. Menggerakkan nurani para petinggi negeri ini untuk cancut taliwondo, menyisingkan lengan baju, berusaha sepenuh hati memberikan layanan kesehatan yang lebih baik, murah dan mudah diakses oleh segenap warga negaranya.

Jadi, beritakanlah tentang ”mereka yang belum sembuh ini”...



Note: tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Tuesday, February 17, 2009

jatuh cinta


aku sudah memutuskan. aku jatuh cinta pada mereka....

pop rock

”Lagi In”. Itu mungkin kata pas –setidaknya di persepsi beberapa ABG yang saya temui- untuk menggambarkan pemuda itu: pencil jeans, gelang karet dan kaos oblong, plus gaya rambut semi mohawk dan anting2 kecil menghiasi kiri telinga.

Pemuda itu memegang mikrofon, sedang menyanyi. Di selarik bait, mikrofon itu ”dilemparkan” ke arah penonton –yang sebagian besar ABG- dan dengan histeria meneruskan bait-bait lagunya. Mereka hapal di luar kepala. Pemuda itu: vokalis band.

Tak lama berselang, datang pemuda yang berbeda. Tampilannya: seragam. Musik yang diusung: ”11-12”. Tapi itu tidak mengurangi antusias para ABG. Mereka histeris, tidak berhenti bernyanyi, ”mengiringi sang vokalis”.

Saudara, pembaca yang budiman, itulah wajah industri musik pop sekarang. Bukan-bukan, saya ralat itulah wajah indistri musik kita sekarang. Tak percaya? Percayalah! Jangankan jazz dan rock, dangdut, yang katanya musik rakyat aja, udah lewat!

Musiknya, di-aku dan dilabeli pop rock. Pop karena nadanya memang nge-pop, dan rock, hm..., ini yang saya susah untuk mencarinya. Mungkin –ini mungkin lho, karena saya memang awam di musik- ada di gaya tampilan mereka: dandanan dan cara bernyanyi.
++
Musik, sebagaimana cipta-kreasi lainnya, telah berkembang menjadi industri. Dan industri akan selalu patuh pada permintaan pasar –selama belum bisa ”menciptakan pasar.” Ketika musik pop rock booming, itu artinya anda harus siap mendapati telinga anda menjadi penuh dengan suara-suara vokalis band itu. Kenapa? Karena kaset, cd, dvd, radio dan televisi, ya isinya akan itu-itu saja.

Bosen? Jangan! Di luar sana ada beberapa band ada yang ’keluar” dari mainstream. Mereka tidak ragu bermain di area jazz, etnik, atau bahkan pure ke rock. Apakah ini berarti saya alergi dengan pop rock? Wah, jangan salah. Saya hanya ingin bilang bahwa saya bersyukur sekali pada keberadaan band yang sedikit ini. Mereka memberi warna lain.

Wednesday, February 11, 2009

untuk kamu

jarik lurik suwek pinggire, tiwas nglirik ono sing nduwe..

kuingin kau tau
kubergetar merindukanmu
hingga pagi menjelang (S07)

waktu

nek dienteni, rasane suwi (opo meneh nganggo bumbu "in bad mood")

nek rak dienteni, rasane cepet banget