Thursday, November 29, 2012

Maaf..


Malam belum beranjak ketika kesabaranku untuk menunggu (kepastian) mu (telah) pergi
Maaf ya...

Sms-ku uda delivered, kau dimana? Ngapain? Dengan siapa? Kok ga kasih kabar sih?
Maaf ya..

"Ukoro" (Trilogi Biker Beginner:3)


Menjadi biker –khususnya di Ibukota- itu butuh hati dan kepala yang adem. Kalo tidak, alamat cepet stress. Para pembaca yang budiman: Inilah Ending dari Trilogi Biker Beginner....  hihihi, baru sadar, kalo jilid 3-nya belum kelar, sementara stok tulisan terbatas, jadilah ;)
==
”Hari genee, oper gigi. Capek deh!”
Pernah baca tulisan ini? Saya pernah dan sering. Ini biasanya nempel di spekbor belakang motor matic. Kesan pertama sih, senyum kecil. Namun, akhirnya bikin senewen juga. Maklumlah tulisan itu ”show off’ di depan idung, ketika macet membuat motor tidak bisa bergerak dengan leluasa.

Maunya sih marah. Apalagi, setelah kelar lampu merah, doi dengan dengan sengaja motong  jalur tanpa kasih kode. Tapi ya, apa mau dikata, biker matic itu adalah si Mbak pemilik stiker ”Buah nangka kulitnya berduri. Siapa sangka hati telah tercuri”
==
Selain suka memperhatikan plat nomer –sebagaimana telah saya tuliskan dalam jilid 2 - kebiasaan lain yang seringkali saya lakukan pada saat traveling (terutama dengan bersepeda) adalah memperhatikan tulisan pada bagian belakang Bis atau Truk. Maklumlah, kalo di Pantura, naik motor itu seringnya –dan kepaksanya- mepet-mepet ”pantat” truk & bis, meskipun mereka semua biasanya udah pada wanti-wanti agar jaga jarak ;)

Saya merasa bahwa para pemilik/sopir truk (khususnya) di Pantura Jawa adalah seniman-seniman yang andal dalam hal membuat ”ukoro” -maaf, karena pengetahuan bahasa yang terbatas, membuat saya belum menemukan padanan yang pas dalam bahasa Indonesia.

Entah sadar atau tidak, dalam rasa saya, mereka mampu merefleksikan kehidupan jalanan yang keras dengan sebuah ”ukoro” yang ”mengena”. Terkadang ”saru” dan ”agitatif”, namun tidak sedikit yang jenaka.

Inilah beberapa ”ukoro” yang saya ingat:

”Gedhe Duwekku”
”Rewel Pegat”
”Pecas Ndahe”
”Tak Mau Dimadu”
”Terkiwir-kiwir”..(dengan latar belakang gambar cewek berpose ”asoy”)
”Pulang Malu, Nggak Pulang Rindu”
”Pulang Tobat, Pergi Kumat”
”Nggak Pulang Dinanti, Pulang Dimaki”
”Beban Mental: Kerjo Ngelu, Ra Kerjo Ngelu, Tinggal Turu Bojo Nesu”
”Penak Jamane Si Mbah...(dengan latar belakang Gambar Uang 50.000)”

Tanpa tendensi negatif, saya menikmati setiap ”ukoro” ini. Hidup itu keras karena: ”Darah Itu Merah, Jenderal!”
:D

Tuesday, August 28, 2012

lelakiku dan perempuanku (3)


babak lanjutan part 1 dan part 2

Part 3: Lelakiku dan Ibu...

Medio Ramadhan 2009. Tiga tahun setelah perpisahanku dengannya di parkiran.
Ibu sakit. Ini sudah keempat kalinya dalam tiga bulan ibu harus dirawat inap. Kali ini karena salah makan. Usia yang sudah sepuh mengharuskan ibu untuk semakin berhati-hati dan pilih-pilih dalam urusan makan dan minum. Dan seperti malam-malam sebelumnya aku memaksa untuk selalu nungguin ibu, meskipun Paklik Edy dan Bude Tik selalu menyarankan agar aku juga istirahat. Mungkin mereka kasihan melihatku yang hanya pulang ke rumah jika hendak mandi dan mengambil baju ganti.

Dingin dan pegel, maklum aku tidur menekuk badan di kursi, persis di bawah AC dengan selimut jaket. Selimutku sendiri kubalutkan ke tubuh ibu. Aku takut selimut ibu tidak cukup tebal dan beliau kedinginan. Sesekali di tengah malamku, aku menengok ranjang beliau, memastikan tidak ada sesuatupun yang mengganggu tidurnya. Ah ibu, seandainya ada yang bisa kuberikan untuk kesehatanmu dan kebahagiaanmu, pasti akan aku berikan meski itu kebahagiaanku sendiri. Nasehat dokter Setyadi masih teringat jelas olehku, “Ibu harus banyak istirahat. Hatinya harus dibuat tenang. Jangan buat beliau shock dan sedih, karena itu akan sangat memengaruhi kesehatan beliau”. Nasehat yang diberikan ketika ibu keluar dari rumah sakit. Tanpa sadar aku menggigil, mengenang peristiwa malam itu. Malam dimana kali pertama ibu masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung. Malam yang membuatku semakin meyakini bahwa dinding pemisah antara aku dan dia, kini, semakin tebal.

Medio Ramadhan 2007, di satu rumah di sudut kota Jogja
”Dasar anak ndak tahu terima kasih. Kurang apa coba anaknya Pak Roesmani. Cantik, baik, berpendidikan, dari keluarga baik-baik dan yang jelas dia seadat-seagama dengan kita. Eh..masih juga mikirin, sopo kuwi, perempuan ga jelas.” Aku hanya terdiam, lidahku kelu. Tangan ibu bergerak, hendak menampar mukaku kalau saja Paklik Edy tidak segera mencegah, ”Sudah Mbakyu, Sudah!”. “Qi, kamu keluar dulu sana, biar ibumu menenangkan diri.” Tanpa berkata-kata kuangkat mukaku, kuayunkan langkah ke halaman rumah. Tak berapa lama, Paklik Edy menemuiku, ”Qi, Ibumu sudah sepuh, kamu mbok ya yang pengertian.” ”Tapi Paklik...” belum sempat aku melanjutkan, Paklik dengan lembut memotong ucapanku dan berkata, ”Iya, Paklik ngerti. Paklik juga pernah muda. Tapi ingat, hanya kamu anaknya Mbakyu. Hanya kamu satu-satunya pelita hidupnya setelah Bapakmu meninggal.” Kepalaku semakin pening, senyumnya perlahan bermain-main di pelupuk mataku. Kugeleng-gelengkan wajahku. Sesekali kuhirup napas panjang untuk mengusir pening. ”Sudah, shalat malam sana, biar lebih tenang”, ujar Paklik Edy yang menangkap jelas kegundahanku. ”Baik Paklik, matur nuwun,” jawabku lirih sambil melangkahkan kaki ke musholla.

Di musholla, kupanjatkan doa agar ibu diluluhkan hatinya. Merestui hubungan kami. Rangkaian doa yang panjang, pelepas lelahnya jiwa. Tidak terasa aku terlelap di atas sajadah. Ternyata, tidak hanya jiwaku yang lelah, ragaku juga. Sejenak kunikmati damainya rumah Allah. Kedamaian itu berakhir ketika Pak Solikin, pembantuku membangunkanku untuk sahur. ”Terima kasih Pak,” ujarku sambil merapikan sajadah.

Memasuki pelataran rumah, langkahku sedikit berat. Kukuatkan hati, berharap agar kemarahan ibu mereda. Dugaanku keliru, Ibu masih marah. Beliau memilih sahur di kamar. Aku jadi malas sahur. ”Masalah ini harus selesai”, begitu pikirku. Biarlah ibu marah besar. Toh tidak sekali ini ibu marah. Aku capek dengan rasionalitas. Capek berpura-pura seakan-akan tidak ada apa-apa diantara kami. Aku menyerah. Aku terlalu menyayanginya.
Setelah menghabiskan segelas susu, aku beranjak ke kamar ibu. Tapi belum sempat aku meneruskan niatku, Bi Ijah berteriak panik, ”Mas..mas, Ibu Mas!” Aku segera berlari ke kamar ibu. Disana kulihat ibu pingsan. Segera kuambil kunci mobil, dibantu Pak Solikin, aku membawa Ibu ke rumah sakit.

”Ibu terkena serangan jantung. Jiwanya tidak cukup kuat menghadapi tekanan”. Kalimat dokter ini seperti menamparku. ”Ya Allah, maafkan hamba!”. Tidak seharusnya aku seegois itu. Memaksakan kehendak. ”Bodoh..bodoh!” makiku ke diri sendiri.

Penyesalan membawaku ke ruang ibu dirawat, ruang VIP No.3 Paviliun Ambarukmo di Lantai II. ”Bu...kulo pareng mlebet?”, ujarku sambil mengetuk pintu. Sekali, dua kali tidak ada jawaban. Kuberanikan diri memutar gagang pintu. Pelan kubuka, kulongokkan badanku ke kamar. Kulihat di sana ibu sedang berbaring di ranjang, membelakangi pintu. Kudekati beliau, kubelai kakinya. Kupijit pelan. ”Maafkan sayaa Bu?” ujarku lembut. Sayaa sayang Ibu, juga dia.” Ibu masih diam, tidak menjawab. Saat itu, waktu seolah berhenti. Hening. Keheningan pecah ketika terdengar olehku suara tangis. Ibu menangis. Tangisan yang sangat lirih, seolah takut ada yang mendengarkan. Pelan, ibu membalikkan badan, tangannya mengusap lembut kepalaku. Beliau tidak berkata-kata, airmata terlihat jelas menggenang di pelupuk matanya. Aku yang tidak pernah melihat Ibu menangis sejak kematian Bapak, tidak mampu menahan haru. Pertahananku ambrol. Kupeluk ibu sambil memohon ampun. Semuanya jelas meski tanpa ada sepatah kata. Ibu tetap tidak merestuiku.

Evaluasi Diri


Waduh, tau-tau udah tanggal 28 Agustus. Uhm...berarti ampir 2 bulan blog ini kosong. Bahaya nih!

Baiklah, saatnya menulis kembali ;)

Di kesempatan yang baik ini, ijinkan saya untuk mengawali dengan mengucapkan: ”Selamat Idul Fitri 1433 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Taqobbalallahu Minna Waminkum Taqobbal Ya Kariim.”

Ijinkan pula saya untuk men-share khutbah Jumat yang kemarin saya dengarkan. Temanya: Evaluasi Pasca Romadlon.

1. Evaluasilah diri sendiri. Ga perlu tengak-tengok orang lain.
2. Tujuannya: mencapai derajat la’allakum tattaquun
3. Alat ukurnya: mulailah dari rukun iman.
a.        Apakah syahadatain yang sudah diucapkan dengan lisan telah benar-benar kita imani dengan hati dan kita aplikasikan dalam perbuatan? Sudahkah kita menjauhkan diri dari tindak dan perbuatan yang menyekutukan ALLAH SWT? Sudahkah kita menjadikan Rosulullah Muhammad saw sebagai uswatun khasanah?
b.        Apakah shalat yang kita laksanakan sudah laksanakan menjadikan kita tanha ’anil fakhsya’i wal munkar. Ataukah sholat adalah rutinitas yang tiada arti. Sekedar menggugurkan kewajiban?
c.         Zakat? Benarkah hitungan kita? Jujurkan dalam menghitungnya? Ikhlaskah dalam mengeluarkannya? Apakah kita telah tumbuh menjadi pribadi yang bisa lebih berempati pada masyarakat yang kurang mampu atau sami mawon (sebelum puasa)?
d.        Apakah puasa sudah menjadikan kita sebagai muslim yang ”berakhlak puasa”, pasca bulan puasa? Sudah berhasilkah kita mengendalikan hawa nafsu?
e.        Sudahkah haji kita menjadikan kita sebagai seorang yang mabrur? Semakin dermawankah kita? Bisakah kita meredam ego untuk tidak berangkat haji lagi sementara masih ada tetangga yang kekurangan?


Saya mengevaluasi diri. Hasilnya: masih sangat jauh dari derajat la’allakum tattaqun. Namun saya akan terus berikhtiar untuk bisa ke derajat itu. Amiin.

Tuesday, July 10, 2012

Ikhlas (lagi)


”Khusnudz Dzon-lah (berbaik sangka-lah) selalu kepada ALLAH SWT.”

Sebuah kabar berembus dari tempat kerja lama. Ada 25 pegawai yang akan ”di-PHK.” Beberapa ”korbannya” adalah orang-orang yang saya kenal baik.

Saya bersedih untuk mereka. Tapi, saya sungguh-sungguh malu dan keliru. Ternyata, mereka adalah ’orang-orang hebat’. Mereka menunjukkan kebesaran hati. Salut saya untuk mereka.

This is my favourite quote (seperti yang disuratkan salah satu dari mereka menanggapi kondisi ’di-PHK’) :

Saya pun memutuskan untuk menerima dengan ikhlas, tanpa hard  feeling, tanpa sakit hati, tanpa beban perasaan sama sekali. Mengapa? Karena saya percaya bahwa mundur dari ****** ini adalah jalan terbaik, yang telah dipilihkan Allah SWT untuk saya. Jika dianalisis secara rasional, tentu saja ada sebab-sebab obyektif maupun subyektif, dan ada proses yang melatarbelakangi, ..... Tetapi, bagi saya sekarang, itu hanyalah detail kecil dalam peta besar, grand design, yang sudah diarahkan oleh Allah untuk saya

Quote ini mengingatkan dan memantapkan kembali hati saya, bahwa setiap detail perjalanan hidup adalah ”nikmat” dari ALLAH SWT yang harus disyukuri dan dijalani dengan penuh keihlasan. Khusnudz Dzon-lah (selalu) kepada ALLAH SWT...

Euro Cup 2012 (part 2: tentang ikhlas)


diperlukan keikhlasan dan kebesaran hati untuk menerima setiap ’kekalahan’ (petuah kebijaksanaan-anonim)

Sebenarnya, saya berniat menuliskan ini segera setelah  Pedro Proenca –wasit asal Portugal yang memimpin Final Euro 2012- meniup peluit akhir pertandingan. Namun, seperti biasa, dengan berbagai alasan –baik yang diniatkan maupun tidak diniatkan- saya baru bisa menuliskannya sekarang.

Sidang pembaca yang terhormat, pada episode awal Euro Cup 2012, saya menuliskan ini: ” Saya sudah kadung kepincut ama Italia. But.. secara objektif, chance ”Gli Azzurri” kali ini tidak besar. Materi mereka ”tidak mumpuni dan mencukupi.” Jadi saya sudah menyiapkan lahir dan batin melihat Buffon dkk pulang gasik.”

Sudah tersurat dengan jelas bahwa saya sudah siap lahir batin alias ikhlas jika Italia kalah/tersingkir. Namun, apa mau dikata, ternyata ikhlas itu gampang diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Nafsu memang begitu. Ia seperti ”noda hitam” yang menutup nurani, menjadikannya tidak legowo. Maka, saya dengan suksesnya uring-uringan tidak karuan. Padahal, jelas-jelas secara objektif, Spanyol memang lebih unggul.

Dalam kasus ini, saya adalah contoh buruk untuk praktek keikhlasan. Saya malu.

Saturday, June 9, 2012

Euro Cup 2012


Semalam, Kick Off Euro 2012. Rakyat berpesta, menikmati perhelatan sepakbola akbar empat tahunan. Seorang teman berujar, ”Akhirnya ada tontonan selain sinetron dan ’drama’ Nazaruddin, Hambalang dan Demokrat.” Ada nada kelegaan yang jelas terdengar. Belum sempat saya nyahut, teman saya kemudian berkata pelan,” Euro Cup 2012 adalah (si) pengalih ’Isu’ (yang) sempurna. Semoga rakyat tidak terkena amnesia permanen –tentang agenda dan pemberantasan korupsi.”

Sudahlah, ndak usa diterusin, berhenti (sebentar) ngomongin politik. Fokus ke Euro Cup 2012.

Dalam turnamen sepakbola, saya selalu percaya bahwa kalah itu OK, namun kalah lah sekali dan di awal turnamen saja. Setelah itu menanglah terus.  Thus, Trophy pun pasti akan dalam genggaman. Jangan kebalik!

Spanyol dan Belanda di Piala Dunia 2010 adalah contoh. Meskipun sama-sama kalah cuman sekali dan dengan skor yang sama 0-1, namun nasib keduanya beda. Spanyol di awal turnamen kalah 0-1 dari Swiss. Namun, mereka menang terus dan berhasil melaju ke final untuk bertemu dengan Belanda. Di Final Spanyol mengalahkan Belanda dengan skor 1-0. Itu, satu-satunya kekalahan yang menimpa ”Kumpeni” namun dampaknya Nyesek Banget: Tuan-tuan Hollande itu lagi-lagi cuman bisa jadi Runner Up!

Ngomongin Kejuaran Sepakbola, apalagi Euro Cup, ga afdol kalo ga ngomongin jagoan. Hehehe, untuk yang satu ini, saya istiqomah. Saya sudah kadung kepincut ama Italia. But.. secara objektif, chance ”Gli Azzurri” kali ini tidak besar. Materi mereka ”tidak mumpuni dan mencukupi.” Jadi saya sudah menyiapkan lahir dan batin melihat Buffon dkk pulang gasik.

Nah, sebagai pelipur lara, saya siapkan diri untuk menjadi penikmat bola saja. Menjadi pendukung permainan atraktif. Ga peduli negara apa. Saya ogah kalo harus ngliat Euro 2012 kayak Euro 2004. Mbosenin.

Persiapan saya, simpel aja:
1.   Bobo sore, biar malemnya kuat begadang
2.   Anti lembur (kerja), biar malemnya ga kecapean (...mungkin ga ya? L)
3.   Banyak-banyak olahraga. Nyiapin jantung biar tidak "copot” :D

Kalo Anda?

Wednesday, June 6, 2012

maukah kamu?


lg chat, dpt icon bergambar senyum merah ;)
langsung deh
===

wahai pemilik wajah ayu yang selalu dirahmati Allah
aku menyuratimu dengan pena hati
menunggumu dengan segenggam asa
....
kuredupkan mata
kulembutkan napas
atas inginku
hanya dan agar kamu bersedia menjagaku
hingga mataku tertutup
dan napasku berhenti
atas ingin Tuhan
maukah kamu...?

Monday, June 4, 2012

Khoirunnas Anfa’uhum Linnaas


(Tulisan ini seharusnya rilis di Bulan Mei, namun demi menjaga ”stok” biar tetap terlihat produktif di tiap bulannya, maka .. ya begitulah :D)


Mei 2012, tepat 3 tahun saya berganti pekerjaan. Dari buruh media menjadi pelayan publik. Meskipun sudah cukup lama, namun sampai saat ini, ketika bertemu dengan kenalan –dan terutama- kerabat, saya (masih) sering ditanya, ”Enak mana (dengan tempat lama)?”.

Jawaban saya, selalu standar, ”Apanya dulu?” Buat saya, kedua pekerjaan ini memang tidak ”apple to apple” untuk dipersandingkan. Ada banyak hal (yang berbeda), namun yang sangat kelihatan adalah ”culture.

Saya sudah memilih untuk berkhidmat pada karya dan berhenti memperbandingkan.  Menjadi pelayan publik adalah the path that i’ve been choosing. Apa yang enak ketika dulu menjadi buruh media –gaji dan bonus, misalnya, hiks - adalah masa lalu yang tidak lagi saya kenang dengan rasa haru biru. Sekarang, saya memilih untuk menikmati setiap yang pahit sama ikhlasnya ketika menikmati setiap yang manis. Enjoy every single day.

Saya –dalam usia 31 tahun- adalah person yang beruntung, karena diberi kesempatan ALLAH SWT pernah bekerja pada beberapa pekerjaan yang berbeda kutub dengan pekerjaan sekarang: sebagai Konsultan Jasa (yang kerjanya menjadi partner Pemerintah dalam penyusunan pekerjaan jasa konsultansi) dan sebagai buruh media (yang seringkali ditempatkan sebagai mitra kritis pemerintah).

Kesempatan yang ALLAH SWT berikan tersebut saya maknai sebagai kasih dan anugerah-Nya. Kedua pekerjaan saya di masa lalu adalah pengaya hidup, untuk (menjadi) manusia yang lebih baik dan bermanfaat (bagi diri, keluarga dan sesama manusia). Seperti sabda Baginda Rosul Muhammad saw, ”Khoirunnas Anfa’uhum Linnaas.”

Tuesday, May 15, 2012

dunia memiliki keterhubungan yang tidak terduga

Orang bilang dunia tak selebar daun kelor. Buat saya, dunia itu selebar daun kelor. Oya, ini bukan tentang cinta dan kisahnya yang haru biru itu ;).

Kalo njenengan tidak percaya, maka percayalah! Saya akan menceritakannya. Bagaimana dunia ini benar-benar selebar daun kelor. Cukup dua kisah. Proven!

Kisah pertama..
Ketika diterima sebagai karyawan di salah satu TV Nasional, di Jakarta. Layaknya anak muda yang penuh semangat –sampai sini saya langsung tune in dengan Lagu Darah Muda-nya Bang Haji Rhoma;D - saya membayangkan sebuah petualangan baru dengan orang-orang baru.

Tugas pertama, di Divisi Pemberitaan/News. Semuanya great dan fine. Sampai akhirnya di penghujung bulan, barulah ketahuan, wahai saudara sebangsa dan setanah air, inilah keterhubungan itu:

Produser pertama saya, orang Padang. Namanya: Budi Afriyan. Kami memanggilnya, Uda Buyung aka Da Buy
Da Buy adalah lulusan Planologi ITB.... idem jurusan dengan saya, meskipun universitasnya menterengan doi ;)
Da Buy pernah ngalamin yang namanya di Ospek (dengan cara seksama dan yang sebenar-benarnya Ospek) oleh Mr F**.....yang mana, si Mr F** ini adalah dosen saya. Fyuh.

Asociate Produser saya, orang baik bernama Yudhi Samiaji. Nah, istrinya, orang Planologi juga....weiks
Teman satu program, mba Vey, anak Planologi juga...yiha...!

Kisah kedua..
Putaran nasib membawa saya pulang kampung. Jelas, orang-orang yang ada di sekeliling adalah orang-orang yang terhubung dengan saya: Teman Sekolah, Tetangga, dan Saudara. Tapi, kalau itu, saya yakin (pasti!) tidak cukup meyakinkan panjenengan semua. Nah, disini ada terselip beberapa episode yang Fa Insya Allah, menjelaskan bahwa dunia itu selebar daun kelor.

Episode #1
Bulan September 2009, terjadi mutasi. Saya mendapatkan atasan langsung (kepala sub bidang) baru. Dan, eng ing eng, atasan langsung saya ini adalah teman kos Kakak lelaki saya, waktu kuliah di Jogja. Fyuh...

Episode #2
Yang ini lumayan muter, namun menarik. Ada teman, anak Kudus, bertugas di Badan Lingkungan Hidup (BLH). Saya dan dia, tidak saling kenal dan belum pernah bertemu sebelumnya. Baru kenal dan bertemu setelah jadi pegawai. Singkat cerita, akhir Juli 2012, dia punya rencana menikah. Ajaibnya –ini keterhubungan yang pertama- calon istrinya adalah mahasiswi yang ternyata adalah anak (dari) sepupu ibu saya yang tinggal di Semarang. Yang lebih ajaib –harap dicatat, ini keterhubungan yang kedua ;D - calon istrinya tersebut adalah teman kuliah adiknya teman satu kantor –yang tempat duduknya hanya terpisah satu meter dari meja saya!. Hebatnya (!) –ini keterhubungan yang ketiga;D - teman satu kantor (yang duduknya hanya terpisah satu meter dari meja saya itu) adalah teman SMA adik perempuan saya. Dan puncak dari keterhubungan itu adalah, ternyata, teman dari BLH itu adalah kakak kelas Adik perempuan saya, waktu kuliah di Teknik Lingkungan UNDIP. Ruarr...biasa!

Episode #3
Ini episode yang sungguh mengagetkan (ajaibnya). Kepala Bidang saya, orang Klaten yang lahir di Tangerang. Seorang insinyur namun punya bakat melucu yang hebring. Ice breaker sejati. Beliau mempunyai seorang istri. Perempuan baik, kelahiran Banjarnegara. Keduanya jelas-jelas orang perantauan yang tidak pernah bertemu, kenal dan berkenalan dengan saya –sampai saya jadi pegawai. Nah -saya sendiri bahkan hampir tidak percaya ini- akan keterhubungan yang terjadi. Ini dia: Istri beliau ini sebelum bertugas di Kabupaten Jepara dulunya adalah pegawai di Kabupaten Tegal. Dan, ternyata beliau adalah seorang atlet tenis. Tahukah panjenengan, beliau adalah orang yang pernah melatih seorang anak muda bernama Setyo Andri. Siapa gerangan si Setyo Andri ini? Dia adalah adik lelaki dari sahabat saya, Setyo Atdi. Usut punya usut, ternyata sewaktu berdinas di Tegal, beliau satu kantor dengan Bapak-nya si Setyo Atdi ini.  Masya Allah...

Saudara sebangsa dan setanah air. Begitu banyak kata ”ternyata.” Benarlah kata orang, ”Hanya diperlukan (maksimal) sepuluh jabat tangan untuk sampai pada person yang kita tuju”. Dunia memiliki keterhubungan yang tidak terduga. Dan, dunia pun benar-benar ”hanya” selebar daun kelor.

Monday, May 14, 2012

LELAKIKU DAN PEREMPUANKU (2)


Part 2: Perempuanku….

September, 19th 2006
Dear Diary,
Hari ini indah sekali. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menjumpainya. Aih, meski cuma 20 menitan tapi aku seneng sekali. Sorot lampu berpendar indah di permukaan kolam air mancur. Romantisnya...jadi malu! :). Tahu ga Di, hampir aja aku gagal menemuinya. Meski pengen ketemu tapi aku selalu ragu. Kamu tahulah, masih sangat sulit melepaskannya. Tadi pun aku pikir lebih baik ngga ketemu daripada nyesek pas pisahan. Ah...seandainya tidak ada perbedaan itu. Tapi sudahlah, ndak ada gunanya disesali. Kami sama-sama rasional. Biarlah perasaan itu hanya berpendar di mata. Aduh...kok aku nangis ya! Maaf ya Di, kamu jadi basah...

Oh ya, tadi pas mo ketemu aku gugup, deg-degan, en shaky habis. Pokoknya persis kaya’ anak SMA yang jatuh cintaJ. Lebih malah!. Hmmm...dia kurusan sekarang. ”Banyak pikiran”, begitu katanya tadi. Tapi, entah mengapa aku malah suka. Makin ganteng (hehehe, kamu jangan iri yaJ). Apalagi pas dia menghisap rokoknya. Awesome, charming habis :) . Matanya masih teduh, dan yang aku ngga bisa lupa, medhok jawanya itu lho, seksi :D. Sayang, dia lebih banyak diam. Matanya yang lebih banyak bicara, tentang rindunya padaku (suit..suit..J). Cuman, aku pura-pura ngga merhatiin. Aku takut Di. Takut kehilangan rasionalitas. Jadinya aku lebih banyak ngobrolin yang laen. Eh, ampir lupa, tadi aku juga ngasih lihat foto-foto terbaruku. Narsis ya, tapi ga papa, toh dia juga bilang aku cantik kokJ.
Wah, pokoknya 20 menit yang luar biasa. Apalagi pas mo balik dia nyempetin diri nganter sampe parkiran. “Miss U Already,” begitu katanya pas nglepas aku..Oh God aku jadi susah ngomong. Thanks God! Engkau telah membawa garis nasibku untuk mengenalnya. Meskipun Engkau belum memperkenankan “percintaan kami” :( . Sudah ah, TIDAK BOLEH SEDIH! Tapi, yach...bakalan susah tidur nih. Eh sebentar ya Di, aku mo sms dia dulu ;).

Hei, i’m back. Barusan aku sms dia, ”Seneng banget bisa ketemu lagi. Tidur nyenyak ya”. Eh, ngga lama dia balas lho, ”Aku juga seneng. Banget!”. Padahal ini kan jam 2 pagi. Hehehe, ternyata ga cuman aku yang susah tidur ya Di. Ya ampun! besok kan Rabu. Aku ada janji dengan klien di Depok, nih. Mana orangnya rada gimana gitu. Tapi klien kan raja. Mesti dimanis-manisin, meski sepet juga. SEMANGAT..SEMANGAT! :)
Udah ya, besok lanjut lagi. Makasih ya Di, udah nemenin aku. Terus dan selalu. U’re my best friend

To be continued…..

Tuesday, April 3, 2012

ngeri

Saya akan menuliskannya, sesingkat-singkatnya.

Asumsikan: jika rata-rata kenaikan minyak mentah Indonesia (ICP-Indonesian Crude Price) naik 15% dari asumsi APBN, pada enam bulan terakhir. Maka, BBM bersubsidi akan naik.

Asumsikan lagi: jika enam bulan itu jatuh pada Bulan Juni. Maka, kenaikan BBM bersubsidi akan dieksekusi pada Bulan Juli.

Tahukah Anda, jika Bulan Juli-Agustus 2012 ada Ramadhan dan Idul Fitri?

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa memasuki Ramadhan dan Idul Fitri harga barang-barang selalu naik.

Tahukah Anda (lagi), jika saat ini pun, akibat ribut-ribut rencana kenaikan BBM bersubsidi –meskipun akhirnya ditunda-sudah menyebabkan harga barang-barang naik (duluan) ?

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa harga yang sudah naik, susah sekali turunnya.

Maka, sepertinya saya tidak perlu menuliskannya secara panjang lebar seandainya terjadi intersection antara asumsi-asumsi diatas dalam bentuk kenyataan.

Ngeri(!)

Semoga ada empati untuk mereka, rakyat kecil yang berusaha dengan sepenuh hati dan tenaga. Semoga empati itu tidak diringkus oleh wacana dan kebijakan dari elite politik yang tidak produktif: nir-nurani dan (hanya untuk) pencitraan belaka.