Tuesday, July 10, 2012

Euro Cup 2012 (part 2: tentang ikhlas)


diperlukan keikhlasan dan kebesaran hati untuk menerima setiap ’kekalahan’ (petuah kebijaksanaan-anonim)

Sebenarnya, saya berniat menuliskan ini segera setelah  Pedro Proenca –wasit asal Portugal yang memimpin Final Euro 2012- meniup peluit akhir pertandingan. Namun, seperti biasa, dengan berbagai alasan –baik yang diniatkan maupun tidak diniatkan- saya baru bisa menuliskannya sekarang.

Sidang pembaca yang terhormat, pada episode awal Euro Cup 2012, saya menuliskan ini: ” Saya sudah kadung kepincut ama Italia. But.. secara objektif, chance ”Gli Azzurri” kali ini tidak besar. Materi mereka ”tidak mumpuni dan mencukupi.” Jadi saya sudah menyiapkan lahir dan batin melihat Buffon dkk pulang gasik.”

Sudah tersurat dengan jelas bahwa saya sudah siap lahir batin alias ikhlas jika Italia kalah/tersingkir. Namun, apa mau dikata, ternyata ikhlas itu gampang diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Nafsu memang begitu. Ia seperti ”noda hitam” yang menutup nurani, menjadikannya tidak legowo. Maka, saya dengan suksesnya uring-uringan tidak karuan. Padahal, jelas-jelas secara objektif, Spanyol memang lebih unggul.

Dalam kasus ini, saya adalah contoh buruk untuk praktek keikhlasan. Saya malu.

No comments: