diperlukan keikhlasan dan kebesaran hati untuk menerima
setiap ’kekalahan’ (petuah kebijaksanaan-anonim)
Sebenarnya, saya
berniat menuliskan ini segera setelah Pedro Proenca –wasit asal Portugal yang
memimpin Final Euro 2012- meniup peluit akhir pertandingan. Namun, seperti
biasa, dengan berbagai alasan –baik yang diniatkan maupun tidak diniatkan- saya
baru bisa menuliskannya sekarang.
Sidang pembaca
yang terhormat, pada episode awal Euro Cup 2012, saya menuliskan ini: ” Saya
sudah kadung kepincut ama Italia. But.. secara objektif, chance ”Gli Azzurri” kali ini tidak
besar. Materi mereka ”tidak mumpuni dan mencukupi.” Jadi saya sudah menyiapkan
lahir dan batin melihat Buffon dkk pulang gasik.”
Sudah tersurat
dengan jelas bahwa saya sudah siap lahir batin alias ikhlas jika Italia kalah/tersingkir.
Namun, apa mau dikata, ternyata ikhlas itu gampang diucapkan namun sulit untuk
dilakukan. Nafsu memang begitu. Ia seperti ”noda hitam” yang menutup nurani,
menjadikannya tidak legowo. Maka, saya
dengan suksesnya uring-uringan tidak karuan. Padahal, jelas-jelas secara
objektif, Spanyol memang lebih unggul.
Dalam kasus ini,
saya adalah contoh buruk untuk praktek keikhlasan. Saya malu.
No comments:
Post a Comment