Ketika mulut ini
mengatakan:
Ya, mau
bagaimana lagi. Aku ikhlas, ini yang terbaik dari-Nya. Sebenarnya itu adalah
dusta.
Ya sudah, kali memang
begini jalan-Nya. Itu pun dusta.
Mungkin rejekinya
baru ini, yo wis lah, Alhamdulillah. Ini juga dusta.
Jika memang
benar ikhlas, nrimo dan legowo, maka semestinya tidak ada embel-embel: ya
sudah, yo wis, dan frase-frase lain yang semakna itu. Karena dengan
menyampaikannya, maka secara tidak langsung kita memberikan ruang pada ketidakikhlasan
untuk ”tampil”. Dan kepasrahan yang kita tunjukkan ke dunia luar pun, tak lebih
dari sebuah penenang hati, mung
ngayem-ayem, dan mungkin (malah) keluhan (yang) terselubung.
Tapi, ini mending-lah, masih ada ”kadar ikhlasnya”,
daripada tidak sama sekali. Namanya juga orang ’awam. Eh, bener ga sih?
No comments:
Post a Comment