Monday, April 7, 2014

Jokowi for President?




Jokowi telah menjadi sebuah fenomena. Masyarakat mengelu-elukannya. Media? Tak usah ditanya lagi. Setiap gerak langkahnya adalah berita. Dia: media darling.

Ketika menulis ini saya iseng mengetikkan Jokowi di search engine Google. Hasilnya: 17 jutaan berita dalam 0.25 detik. Jauh melewati Megawati yang ”hanya” 4.21 jutan dan Prabowo Subianto yang mencapai 1.888 jutaan. Angka ini hanya kalah oleh SBY yang mencapai 19.4 juta-an. Namun yang menarik, ketika ditulis Joko Widodo, angkanya tetap tinggi, mencapai 11.8 jutaan, mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (2.96 jutaan). Angka-angka ini –meskipun masih sangat basic- menjadi pembenar bahwa dalam kancah perpolitikan nasional, Jokowi is Indonesia’s Rising Star.

Saya pribadi melihat Jokowi sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa darinya. Bahkan sempat, pada satu titik saya merasa bahwa media terlalu lebay memberitakannya. Menurut saya, Jokowi hanya melakukan tugasnya. Dia melakukan apa yang memang seharusnya seorang pemimpin lakukan. Tidak lebih dan tidak kurang.

Ya, dalam perspektif pribadi saya, Jokowi hanya melakukan simple thing : mengambil keputusan. Meski demikian, tidak bisa dielakkan bahwa simple thing itu tidak lagi sesuatu yang simple, namun telah menjadi big thing. Thus, bagi orang-orang yang ”sadar”, keberadaan Jokowi menjadi sebuah symptom: kerinduan masyarakat akan pemimpin yang mau melakukan pekerjaan apa yang seharusnya seorang pemimpin lakukan.

Pada titik ini, saya kemudian berbalik arah, menjadi seseorang yang meyakini bahwa Indonesia memerlukan pemimpin daerah dengan spirit Jokowi –dengan asumsi bahwa Jokowi yang ada di layar kaca bukanlah aktor yang sedang berakting dengan apik dalam sebuah opera sabun berjudul blusukan. Pada titik ini pula saya termasuk orang memutuskan untuk tidak memilih Jokowi sebagai Presiden –jika memang kemudian dia benar-benar masuk dalam Capres pada Pilpres 2014 nanti.

Menurut saya, jika model desentralisasi saat ini tidak berubah, dimana kewenangan banyak yang berpindah ke Bupati/Walikota, sementara peran Gubernur –kecuali Gubernur DKI, yang diberi kewenangan memilih dan mengangkat Walikotanya- ”tak lebih dari sekedar koordinator,” maka pemimpin dengan gaya blusukan dan langsung mengambil di lapangan, jauh lebih diperlukan pada tingkat kabupaten/kota. Masyarakat di tingkat kabupaten/kota lebih membutuhkan model pemimpin ini. Ada jarak yang terlalu jauh antara (keputusan) Presiden dengan masyarakat di level desa.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa Jokowi perlu menjadi Presiden agar bisa menjadi role model bagi pemimpin daerah lainnya. Menurut saya, itu tidak perlu. Jika memang perlu role model, tinggal tengok TV atau berita saja. Kurang apa coba media memberitakannya?
Dalam kondisi transisi menuju pemerintahan yang melayani, masyarakat di level bawah (kabupaten/kota) perlu pemimpin yang bisa hand in hand, setiap saat hadir di tengah-tengah mereka. Dan itu ada di level Bupati/Walikota, bukan Presiden.

Alasan lainnya adalah biarlah Jokowi (dan Ahok) berkonsentrasi menata Jakarta. Menyelesaikan masa baktinya. Jika ada yang mengatakan bahwa Jokowi akan kehilangan momentum, maka itu ada benarnya. Politik memang seringkali ditentukan oleh suatu momentum. Namun, saya meyakini bahwa seperti halnya kesempatan, momentum bukanlah sesuatu yang hanya datang sekali dan harus ditunggu hadirya. Momentum bisa diciptakan dan akan menghampiri orang yang bersungguh-sungguh berusaha. Dan itu juga berlaku untuk Jokowi. Dengan performance yang baik dan konsisten (dalam menata Jakarta), melihat foto Jokowi terpasang di tiap-tiap dinding kelas dan kantor hanyalah masalah waktu saja.
--

No comments: