Saturday, April 9, 2011

kang parmo

Hujan. Di dalam becak, Kang Parmo meringkuk. Tubuhnya membentuk busur. Tangannya menarik kedua lututnya hingga beradu dengan kepala. Berharap ada cukup kehangatan untuk melawan dinginnya malam.

Gagal. Kang Parmo, menyentak lemah. Hujan turun semakin deras. Dingin semakin menggigit. Kang Parmo meraba "dompetnya", sebuah plastik lusuh. Hanya ada selembar sepuluh ribuan di sana. Itu hasil mengayuh seharian ini.

Kang Parmo menggigil, terbayang suara anaknya, "Pak'e, adek pengen maem telur. Mangke, tumbaske ya!"
===

"Lha, niki mangke badhe didhamel pripun Mas? Nawi saged ampun dibongkar, kersane kulo cobi akali" ujar Kang Parmo sambil membongkar peralatan tukangnya. "Monggo lah Kang!" jawabku sambil mengaduk teh hangat untuknya. Hari itu, kran air dapur rusak. Tandon air juga bermasalah. Dapur, kebanjiran.

Kang Parmo segera bekerja, bergerak tangkas. Sebentar saja, peluh nampak membasahi lengannya yang legam. Alam menempa tangannya: kasar dan keras.
===

"Monggo, Pak. Sandal, sepatune. Mirah. Kaleh doso, saged kirang," sapa Kang Parmo pada setiap pengunjung yang lewat di depan "kiosnya", sebuah pick up hitam dengan terpal biru di trotoar depan kantorku. Malam itu sedang terang. "Alhamdulillah, dagangan hari ini lumayan rame Mas." Senyumnya berkembang.
===

"Kulo sampun nate kerjo macem2 Mas, sing penting Halal. Sakniki pun syukur sanget. Saged nyambi sadean," ujarnya dalam sebuah perbincangan ketika menemaniku lembur. Malam itu, dia piket jaga malam. Kang Parmo meniti hidupnya dengan penuh kesyukuran.

No comments: