Friday, July 25, 2008

malaikat berkerudung

Malam beranjak larut, tawang tidak sedang terang. Hanya ada satu bintang ketika aku memasuki kompleks perumahan. Kutengok jam tangan lusuhku, Pkl 22.30. Segera kubuka gerbang rumah. ”Gre...g.!” suara gesekan gerbang memecah sunyi. Kuparkir Ega ke dalam pelataran rumah dan bersiap menutup kembali gerbang ketika dari kejauhan terdengar tawa kecil yang riang.

Di sana, di ujung jalan kulihat Si bungsu Deni (5 thn-an) kecil berlarian menghindari kejaran Kak Dina (8 thn-an). Dari kejauhan Si Sulung Atep (12 thn-an), nampak mengawasi. Mereka, tiga anak kecil itu, tidak sedang bermain. Mereka menemani Mamak tercinta mencari nafkah, memulung sampah.

Mamak –ah..aku menyesal tak sempat tahu namanya- tersenyum ketika melihatku. Wajah ibu berkerudung itu selalu nampak teduh, meskipun tetap saja gurat kelelahan terlihat jelas. Biasanya –kalo tidak ada ”sesuatu” yang bisa kuberikan- aku hanya membalas senyum itu, sekedarnya, lalu menutup gerbang dan masuk ke rumah. Namun, malam itu, entah kenapa aku ingin berbincang sebentar.

”Dek, sini!” Kulihat Deni tidak beranjak, wajahnya menyiratkan keragu-raguan. Tubuhnya mulai merapat ke Dina, menyembunyikan wajah –aku jadi ingat dengan kura-kuranya sepupuku yang selalu menarik kepalanya ke dalam tiap kali ada “tangan baru” yang mencoba menyentuhnya- ketika aku memutuskan untuk datang menghampiri.

“Dipanggil Om-nya gitu, kok diam” kudengar Mamak menegur Deni, dan itu cukup ampuh. Deni mengeluarkan wajahnya lagi. Tangan kecilnya bergerak ketika kusodorkan 2 Beng Beng yang tadi kubeli di jalan. ”Bedua ama kakak ya,” ucapku singkat sambil tersenyum.
”Bilang gimana?” tegur Mamaknya. Tapi dari mulutnya tidak keluar sepatah kata pun. Hanya dari mata yang berbinar itu aku tahu bahwa dia berterima kasih untuk ”hadiah kecilku.”

”Numpang istirahat sebentar ya Pak” ucapnya sambil menunjuk emperan rumah untuk bersandar
”Oh silakan, silakan”
”Dapat banyak Bu?” tanyaku sedikit berbasa-basi.
”Alhamdulillah, ya dibantuin anak-anak”
”Lhoh, bapaknya kemana?”
”Sudah tidak ada”
”Innalillah. Duh, maaf ya Bu”
”Ga papa kok Pak, sudah Allah yang ngatur”

Dan perbincangan kami pun untuk sesaat mengalir. Mamak bercerita -sebuah cerita yang sekarang, ironisnya, menjadi terdengar biasa di tengah riuh Jakarta yang tak lagi bermata hati- tentang Si Sulung Atep yang memilih tidak melanjutkan ke SMP. Alasannya: ”Kasihan Mamak. Atep mau bantuin Mamak saja” -ketika mendengar cerita ini mataku sontak menoleh ke sosok kurus, sedikit dekil, dengan sorot mata yang tajam dan tegar itu.

”Maaf, tapi sehari dapat berapa Bu?”
”Ya, Alhamdulillah, 25 ribu Pak”
Dan tanpa bisa kucegah aku nyeplos ”Hah, kok bisa (hidup)?”
”Saya sih, Bismillah aja Pak. Oh ya, terima kasih Pak. Tep..Atep, ayo, adiknya disuruh berhenti, jangan rame-rame. Nanti ganggu orang”

Aku hanya mengangguk. Mulutku susah sekali berkata-kata. Ucapan itu, bagaikan godam yang menghantam dada. Menyesakkan..

No comments: