Monday, September 3, 2007

terseret arus

Sabtu malam, seorang penulis muda mengirimkan sms. Isinya menanyakan tentang poligami. ”Untuk FTV lebaran,” katanya ketika saya menanyakan, ”Emang kenapa (tanya-tanya)?”. Dan, dengan karakternya, tanpa dia beritahu sebelumnya pun, saya cukup yakin bahwa dia ingin ”menonjolkan” sisi negatif poligami

Saya, terus terang saja, merasa kurang begitu sreg dengan rencananya. Bukan karena alasan sederhana seperti, misalnya –ini permisalan saja- saya pro poligami. Sampai alasan picik, seperti misalnya –ini juga permisalan-saya iri. Buat saya, menolak poligami (sebagaimana menerima poligami) adalah sebuah pendapat yang tentunya sah-sah saja untuk dikemukakan. Artinya, saya sadar, sesadar-sadarnya bahwasanya I have no right to say: Dont! Siapa (juga) saya kok ngelarang-larang dia? Lagipula, buat saya, apapun itu, sebuah karya –meskipun masih dalam tataran ide- harus dihargai.

Tapi, ya itu, saya masih saja merasa bahwa ada yang mengganjal di dada, ”Kenapa mesti poligami? Tidak adakah hal lain yang bisa diangkat?”
”Kerisauan” ini didasarkan pada kenyataan bahwa poligami (dalam sudut pandang fikih Islam) adalah ”permasalahan” yang masih ”debatable” Ada ”sejumlah” ulama yang membolehkan, ada ”sejumlah” lain yang menolaknya. Alasannya beragam dan saling meng-counter satu dengan yang lain. Titik perbedaan di antara para ulama’ tersebut adalah menyangkut tafsir atas Surat An-Nisa` ayat 3, termasuk juga perbedaan di dalam mengambil kesimpulan hukum melalui sabab al-nuzul (sebab turun, red) ayat tersebut. Dan, jika begini terus, perdebatan tentang boleh-tidaknya sangat mungkin akan terus berlangsung. Hal ini karena, sebagaimana pandangan Buya Syafi’i Ma’arif, tafsir adalah sesuatu yang mutlak dalam kenisbian.

Kondisi ini mau tidak mau memaksa saya (sebagai pribadi) untuk melihat poligami dari sudut pandang legal-formal, dan itu berarti poligami (dengan segala persyaratannya) adalah sesuatu yang dilegalkan oleh negara ini (lihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Selesai (pro-kontranya)? Belum! Baru-baru ini ada wiraswastawan dari Jakarta Selatan, bernama M. Insa, mengajukan judicial review terhadap UU ini. Alasannya, UU ini membatasi hak kebebasannya untuk beribadah sesuai agamanya. Nah lho!

So, sepertinya cukup beralasan sekiranya saya terus didera pertanyaan, ”Kenapa mesti (”masalah”) poligami? Tidak adakah hal lain yang bisa diangkat?”

Astaghfirullahal’adliim. Gusti, ampuni hamba-Mu ini. Di saat masih banyak anak-anak yang putus sekolah, kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan, berseliweran di jalanan dan jauh dari kata ”penghidupan yang layak,” kok (saya) malah (ikut-ikutan) ”terseret arus” membahas poligami.

No comments: