Tuesday, December 30, 2008

resolusi tengkuk


Saya bukan muslim yang taat, itu jujur saya akui. Ada banyak ”jalan sesat” yang telah saya tempuh, padahal papan penunjuk ”jalan lurus” terang benderang terpampang di hadapan.

”Kesadaran” itulah yang saya bawa di jelang Tahun Baru 1 Muharrom 1430 H. Saya berhening sejenak, mencoba memutar kaleidoskop perjalanan saya di Tahun 1429. Saya mencatat banyak hal negatif dan positif. Namun saya sadar, catatan pribadi itu selain subjektif juga jauh dari lengkap.

Orang tidak bisa melihat tengkuknya. Karena itulah dia sulit untuk mengetahui ”kekurangan” dan ”sifat jeleknya.”

Istri saya mengucapkan ini. ”Lupa,” ucapnya enteng, ketika saya tanya, ”Ngutip dimana?” Masih kata istri saya, ”Tengkuk itu kan banyak dakinya, tapi orang sering tidak ngeh.” Saya, saat itu, sadar kenapa dalam setiap iklannya sebuah produk sabun cuci selalu memperlihatkan kemampuannya membersihkan bagian kerah baju. Ya, kerah baju itu nempel di tengkuk, salah satu titik noda utama.

Dan seperti daki, sisi negatif itu juga nempel di ”tengkuk hati.” Kita tidak bisa melihatnya, dan kalopun bisa, kita terlalu angkuh untuk mengakui keberadaannya.

”Dimana ’tengkuk hati’ itu?”

Jangan tanyakan itu. Saya sama tak tahunya dengan Anda. Itu hanya istilah absurd dan ngawur yang saya ciptakan untuk menggambarkan bahwa selalu ada sisi negatif yang luput untuk Anda lihat ketika sedang ”becermin” -untuk mengoreksi diri. Anda butuh orang lain. Pesan moralnya: (1). Jadi orang harus siap dikritik; (2). Rajin-rajinlah menggosok tengkuk, terutama ”tengkuk hati.”

Demi melihat dan membersihkan ”tengkuk hati” itu, saya berkirim sms ke beberapa orang. Metodenya masih sama, purposive sample, dengan pertanyaan sederhana, ”Hal apa yang menjadi ’Strength’ dan ’Weakness’-ku?”

Ijinkan saya membagi satu di antara weakness yang ditemukan oleh salah satu ”responden” di ”tengkuk” saya: Too Many Analytical Thinking! Maunya saya –ketika membaca ini- protes. Saya menangkap ini sebagai: (1)”terlalu banyak bicara” yang diperhalus; (2). Peragu, terlalu banyak mikir.

Tapi saya sadar, ini bagian dari ”resolusi diri.” Ini kritik. Inilah daki yang dilihat oleh salah seorang ”responden” nempel di ”tengkuk hati” saya. Adalah tugas saya, selanjutnya, untuk menggiring ”too many alaytical thinking” ini menuju jalan yang benar. Memakainya dengan benar dan di tempat yang benar.

”Biar resolusinya tidak cuma Omdo, omong doang. Bukan begitu, Pak, Bu?”

No comments: