Friday, July 13, 2007

Bodoh dan Sakit

Si Lae. Nama aslinya? Saya tidak tahu. Yang pasti dia orang Batak dan pemilik bengkel di dekat komplek rumah. Kami tidak kenal dekat, obrolan hanya sebatas, ”Lae, tolong stel rantai ya!” atau ”Lae, ganti olinya ya!”.

Beberapa hari yang lalu, karena spedometer Si Ega, sepeda motor saya, sudah menunjukkan kilometer 18.000, dan demi mengikuti petunjuk penggunaan motor, saya pun menjumpai Si Lae ini. Agendanya: Ganti Oli.

”Lae, tolong olinya ya. Yang biasanya aja”, ujar saya menyebut sebuah merk oli motor sembari memarkir motor di tengah halaman bengkel. Tak menunggu lama, Si Lae datang, dan bersiap mengganti oli. Biasanya, saya jarang memerhatikan proses penggantian oli ini. Saya lebih memilih menyingkir jauh-jauh sambil memencet-mencet Mp3 player. Tapi entah kenapa, kali ini tidak. Penyebabnya? Sebuah papan kecil yang disandarkan di footstep sebelah kiri. Saya sempat berpikir, ”Ngapain pakai papan segala?”. Namun, semenit kemudian saya menemukan jawabannya. Papan ini berfungsi untuk mencegah agar sisa-sisa oli bekas yang ada di mesin tidak nyiprat kemana-mana, ketika tabung oli dibersihkan dengan kompresor. ”Hmm, pinter juga dia!” pikir saya

Sebelum pergi, saya iseng bertanya ke Si Lae,”Belajar dari mana Lae, pakai papan segala?”. ”Pengalaman Bang. Biar dinding aku tidak kotor-kotor amat!” jawabnya tangkas sambil menunjukkan bekas-bekas cipratan oli di dinding bengkelnya. Sebuah jawaban yang cukup "menampar" saya. Belajar dari pengalaman! Di kepala saya, waktu itu, tiba-tiba muncul gambar keledai!

lebih dungu dari keledai
Pepatah lama mengatakan, ”Pengalaman adalah guru terbaik”. Saya pun sudah paham, ngerti banget malah. Tidak heran kalimat ini sering saya bagi-bagi ke orang. Tujuannya satu: biar mereka bisa belajar dari setiap hal yang telah mereka lakukan, melanjutkan setiap langkah yang benar, dan tidak mengulang serta memperbaiki setiap yang salah.

Namun, pada kenyataannya, saya ini, ternyata hanya paham dan ngerti, jauh dari implementasi. Omong doang! Tidak heran kalau saya seringkali terantuk pada kesalahan yang sama. Saya, ternyata, kalo dipikir-pikir, lebih dungu dari keledai yang ogah kejeblos pada lubang yang sama:
  1. Sudah paham kalo ketabrak motor itu sakit. Lha kok ini, sampai tiga kali, plus becak lagi.
    ”Kamu kayaknya bakat jadi raja jalanan deh,” kata bulik saya. ”Kenapa bulik?”, tanya saya. ”Lha kuwi, motor ae sampek mbok tubruk peng telu (lha itu, motor saja kamu tabrak tiga kali),” katanya enteng
  2. Sudah ngrasain ngilunya sakit gigi, tetep aja males gosok gigi sebelum bobo
    Ngilunya sama, sakitnya pun masih sama. Lebih sakit dari sakit hati. Trust me!
  3. Sudah pernah "bersimbah darah" menata hati yang berkeping-keping gara-gara cinta yang tak sempat terungkap, eh lha kok begitu jatuh cinta lagi. Lagi-lagi ga mau mengungkap rasa
    ”Mbak, aku kangen nih!” curhat saya ke seorang teman. ”Ya sudah, telpon sana!” ujarnya enteng. ”Atut..”, jawab saya. ”Lha piye carane dia ngerti kamu kangen kalo kamu ga bilang? Lagian kenapa mesti takut?” ujarnya menasehati. ”Ya gimana ya mbak. Kayaknya memang tak terkejar. Dia tuh ya, udah cantik, pinter, anaknya orang kaya, pekerjaannya mapan pula. Lha akunya cuman kayak ginian. Dah tampang ngepres, posisi pun cuma pegawai rendahan,” jawab saya lagi. ”Heh, kamu tahu beauty and the beast?” tanyanya. ”Tahu mbak, emang kenapa?” jawab saya balik tanya. ”Lha pas kan, dia beuty, kamunya..hehehehe” candanya. ”Udah, udah, jangan terlalu dipikir, dihitung, kalo kangen ya bilang, kalo suka bilang aja. Emangnya dia itu paranormal, bisa pake telepati?. Buruan entar nyesel lho, kayak yang kemaren itu!” tuturnya mengingatkan saya pada peristiwa hancurnya hati gara-gara gadis yang saya taksir ternyata keburu disamber orang. Gara-gara saya tidak cukup keberanian mengungkapkan rasa.
    Dan, benarlah adanya. Tak menunggu lama, saya yang, lagi-lagi, tidak punya cukup nyali, terpaksa, kembali, membongkar pasang onderdil hati saya yang hancur berkeping-keping, ketika melihat datangnya pengumuman, gadis cantik yang saya idam-idamkan ternyata sudah menjadi milik orang.
  4. Sudah paham dan ngerti kalo ingkar janji itu bisa melukai, masih..saja tidak pernah absen khianat janji
    ”Besok bisa datang kan, sayang?” terdengar suara di ujung telepon. ”Iya, dont worry honey!” jawab saya dari ujung telepon yang beda. Tapi, memang lidah tak bertulang, saya tidak bisa datang, padahal sudah janji. Sekali, dimaklumin. Dua kali, dimaafin. Tiga kali, dicemberutin. Empat kali, didiemin. Lima kali, ditangisin (maksudnya, kekasih saya nangis karena jengkelnya sudah di ubun-ubun). Enam kali, diajak ngobrol di cafe. Tujuh kali? Ndak ada tujuh kali, karena di cafe tadi, saya resmi diputusin!
  5. Sudah tahu sakitnya diputusin, eh..eh..bukannya mencoba biar langgeng malah ”nyerempet-nyerempet” bahaya.
    ”Kamu, berapa kali diputus?” tanya seorang kenalan lama. ”Baru sekali!” jawab saya sambil meringis tipis (?). ”Ngga kapok?” tanyanya lagi. ”Kan belon dua!” jawab saya sekenanya. Dan...esoknya saya pun tak lagi meringis tipis, tapi meringis tebal (?) karena..uhm..hiks..ditinggal kekasih untuk kali kedua!
  6. Sudah paham dan ngerti kalo menjadi yang kedua, maka akan membuat orang pertama terluka,...teuteup, mau menjadi yang kedua.
    Beberapa bulan kemaren, saya curhat ke seorang teman nun jauh di mata bahwa saya telah menjadi yang kedua. ”Habisnya, orangnya imut-imut, chubby gitu deh. Ngga ku ku bo!” jawab saya polos ketika ditanya kenapa mau menjadi yang kedua. ”Kamu ngga kasihan ama kekasihnya yang sekarang?” tanyanya –yang menurut saya (sok) wise. ”Emang Gue Pikirin, hahahaha!” jawab saya sambil tertawa cekikikan kaya’ Mak Lampir. ”Ya sudah, tapi yang ati-ati. Maksudku, siap makan ati, hehehe!” sarannya. Dan...baru-baru ini saya meneleponnya, menceritakan sakitnya diduain oleh kekasih hati. ”Tuh kan, sakit kan?” ujarnya mengingatkan pada sakitnya kekasihnya ”kekasih” saya itu
  7. Sudah ngrasain sakitnya sebagai orang ketiga, eh lha kok malah ketagihan sakitnya
    Ceritanya, saya ndak tahan pisah dari ”kekasih” ini. Begitu ketemu, ndak kuasa menahan gejolak cinta. Jadilah cinta terlarang bersemi kembali. ”Habisnya, orangnya imut-imut, chubby. Duh, gimana ya bo!” jawab saya ketika diingatkan (kembali) oleh teman nan jauh di mata. ”Kamu, habisnya..habisnya..ya ndak habis-habis. Sorry ya, but I think you’re damn fool!” sungutnya sambil beranjak menjauhi saya. Meninggalkan saya yang ketagihan ama peran ”sebagai yang kedua”
  8. Sudah paham dan ngerti kalo ngerokok ga baik untuk kesehatan, tapi kok ya jadi hobi.
    Ndak usah dibahas lagi, yang ini, benar-benar bodoh dan sakit!
  9. Sudah paham dan ngerti kalo suap menyuap itu menciderai nurani, tapi tak pernah berhenti mengulangi, bangga, malah!
    ”Lho, mas, sampeyan masih punya nurani to? Aku pikir dah abis, ketelen ama yang namanya duit,” sindir adik saya yang masih kuliah melihat tingkah polah saya ketika masih kerja di tempat lama.

No comments: