Tuesday, July 10, 2007

Si Bandel

Paling ndableg (bandel), paling ngeyelan (suka ngebantah), paling ga iso diatur (susah diatur). Itulah komentar –hafalan- ibu saya jika ditanyain, ”Jeng, putra kakung ingkang nomer sekawan meniko pripun to?” (Jeng, putranya yang nomer empat itu orangnya seperti apa ya?). Saya sendiri enggan memprotesnya. ”Ora usah protes, bocah kok senengane protes! (ndak usah protes, anak kok sukanya protes aja!),” begitu biasanya ibu menghadapi jika saya akan (tuh kan, baru ”akan” lho) memprotes omongan beliau.

Jika saya nekat protes, biasanya ibu akan dengan segera memutar kaset lama:

  1. Nek kowe ga ndableg, piye carane iso ketabrak motor sampek peng telu. Dilindes becak? (jika kamu tidak bandel, gimana caranya kamu sampai bisa ketabrak motor tiga kali? Dilindas becak?)
    [Untuk yang ini, hehehe, beneran, ga patut ditiru, semua gara-gara ngejar layangan, lupa daratan, lupa jalanan]
  2. Nek kowe ga susah diatur, opo tumon wayah mantenan mbakyune, nganggo jeans dhewe, wegah nganggo batik keluarga? (jika kamu tidak susah diatur, coba jelaskan ke ibu, apa ada orang yang ngga mau pakai seragam keluarga pengantin, pada saat kakak perempuannya menikah, malah milih make jeans, selain kamu?)
    [yang ini, hmm, gimana yach, terus terang buat saya, pernikahan adalah momen penting dan saya ingin tampil serapi mungkin, sebaik yang saya bisa. Jika kemudian saya merasa bahwa penampilan terbaik saya adalah dengan bercelana jeans dipadu dengan kemeja lengan panjang yang digulung, bersepatu casual, mosok harus ber-batik ria? Toh, yang akan menikah kan saudara sendiri, bukan orang lain. Bukan pula sedang interview dengan perusahaan yang harus saya hadapi dengan ”penampilan sedikit munafik”.
    Tapi, sekarang saya paham bahwa memang, terkadang, saya harus bisa mengorbankan sedikit perasaan demi yang namanya ”aturan tidak tertulis”]
  3. Nek kowe ga ngeyelan, piye ceritane bapak mesti ke sekolah ben kowe iso melu pelajaran agama? (jika kamu tidak suka ngebantah, ndak mungkin bapak mesti datang ke sekolah supaya kamu bisa ikut pelajaran agama lagi?)
    [kalo ini, sampai sekarang, saya tetap keukeuh tetap tidak mau ngaku salah. Gimana tidak, guru agama saya mengatakan, ”Mau tarawih 20 rakaat atau 11 rakaat, ndak ada yang salah. Yang salah adalah yang tidak mau salat (tarawih)!” Saya serta merta nyeletuk, ”Walah, ya ndak bisa gitu dong Pak. Bapak udah salah kaprah. Orang yang tidak Tarawih pun tidak salah, wong itu Sunnah kok. Payah, harusnya Bapak menerangkan kepada kami kenapa ada yang salat Tarawih 20 rakaat, kenapa ada yang 11. Jika sudah diterangin, nah biarkan masing-masing dari kami memilih, mana yang menurut kami lebih bisa diterima kebenarannya. Piye to?”. Tapi apa lacur, celetukan saya ini kemudian berujung hukuman tidak boleh ikut pelajaran agama dari dalam kelas. Dan terpaksalah, Bapak saya ”berdiskusi” dengan bapak guru agama, supaya saya diperbolehkan masuk kelas agama lagi. Saya sendiri ngeyel, ga mau ngaku salah, tapi karena bapak saya bilang, ”Le, sekarang, ndak penting siapa yang bener, siapa yang salah. Yang bapak ngerti caramu nyampekno pendapat salah. Sudah njaluk ngapuro kono! (Sudah minta maaf sana)" , saya akhirnya mengalah dan meminta maaf, bukan untuk inti perkataan saya, tapi untuk cara penyampaiannya.
    Dan sejak saat itu, saya belajar untuk lebih bisa memilih milah diksi. Lebih memperhatikan situasi dan kondisi, terutama jika ingin mengkritik. Tapi, sejujurnya saya belum berhasil seratus persen, buktinya ibu saya masih saja bilang kalo saya adalah putra kakung-nya (anak lelakinya) yang paling ngeyelan].

Meski ndableg, susah diatur dan ngeyelan, tapi ada satu urusan yang ibu dan bulik selalu percayakan ke saya, tidak ke kakak-kakak maupun adik-adik saya. Urusan itu adalah: Belanja! (dilarang tertawa!). Saya, sampe sekarang, masih hapal, dimana harus belanja gula dan minyak goreng termurah. Dimana bisa mendapatkan ikan dan sayuran segar, dengan harga miring. Pokoknya, setiap lorong di pasar tradisional di kampung halaman, saya hapal, nglotok, di luar kepala, hehehe.

Jadi, wahai kalian para perempuan-perempuan lajanger, jika mencari lelaki muda, yang merelakan waktu weekend-nya berbecek-becek di kios ikan, bermandikan keringat bercampur bawang, please feel free to contact me (hehehe, kok jadi malah promosi diri, ketahuan kalo susah lakunya!). Tapi, ya itu tadi, Bandel-nya ga ketulungan. (Masih) Mau?

No comments: