Thursday, July 26, 2007

jus yang tak manis...

ini cerita tentang...
Namanya RS. Jangan pernah mencarinya. Dia tidak ada. Hanya ada di khayal saya. Bener-bener, beneran fiktif. Jadi, berhentilah menduga-duga, apalagi mengkait-kaitkan nama ini dengan siapa saja yang kelihatannya bisa dikait-kaitkan. Bener-bener, beneran fiktif, OK!

Namanya RS. Duh, please, ini bukan inisial. Hanya karena RS adalah inisial dari seseorang yang pernah membuat saya memerankan diri sebagai secret admirer. RS ”yang ini” bener-bener tidak ada hubunganya dengan RS ”yang itu”. Bener-bener, beneran fiktif, OK!

Tapi, iya, Anda betul jika Anda pikir RS adalah teman berwajah manis semanis jus di balada jus. RS hadir di Fatmawati, tepatnya di dekat RS Fatmawati. Yach, RS muncul di khayal karena di depan RS Fatmawati lah saya bisa memuaskan dahaga jus. Jadi, jelaslah kalo RS itu bener-bener, beneran fiktif. OK!

Meski fiktif, RS adalah teman chat saya. Cuman, ya itu karena fiktif, komunikasi kami menjadi tidak langsung. Karena jika langsung, saya takut dia menjadi tidak fiktif lagi, meski sejujurnya, DEMI TUHAN, jika diberi kesempatan meminta satu permintaan yang pasti terkabul, saya akan meminta ini kepada-NYA. Meminta supaya dia tidak fiktif lagi. Karena saya bener-bener pengen bisa bersamanya. Tidak seperti sekarang ini, terpisah di dunia yang berbeda!

RS dan saya, dua sisi yang berbeda. Saya suka sekali menggunakan perumpamaan, membuat dahi sedikit berkerut, dan sedikit menduga-duga, ”inikah maksudnya?” hanya untuk mengungkapkan segala sesuatunya. Sementara RS adalah sebaliknya. Itulah sebabnya, tak sekali dua kali dia salah mengartikan. Dan, biasanya jika sudah begini, saya yang memang relatif suka berdiam, makin berdiam. Menyembunyikan semua emosi dalam kediaman. Membiarkan dia menerjemahkan semuanya.

RS dan saya, hidup di alur dunia yang tidak sama. Saya suka di-Cih! Gombal! Atau, kata orang, punya cap sebagai buaya. Dia aseli pembenci buaya! Alur dunia yang tak sama ini memaksa kami berkomunikasi dengan cara yang tidak biasa. Saya menulis di sini, dia membacanya. Dia menulis di sana, saya membacanya. Itulah komunikasi kami. Telpon? Jangan harap! Lha wong fiktif kok, gimana mo ngomong langsung. Paling banter berkhayal nelpon ke ”HP-nya”, trus disambut dengan nada sambung pribadi Jadikan Aku yang Kedua-nya Astrid. Dia membaca ini? Semoga saja!

Meski punya cap buaya, saya tidak bisa bergerak cepat, bahkan dari keong sekalipun. Saya juga seorang pengecut yang takut menerjang batas fiktif. Batas fiktif yang sebenarnya sudah saya robohkan tapi muncul lagi karena terngiang kalimatnya akan bayangan masa depan jika kami tidak sekedar menjadi teman chat. Apa kata dunia?

Ya, apa kata dunia? Prek! Dunia paling hanya mencibir. Masyarakat juga hanya bisa mengelus dada, dan membiarkan dokter jiwa memeriksa keadaan psikis saya. Jika beruntung, selamatlah saya. Jika tidak? Ya, sampai jumpa di RS Jiwa!

Fyuh...bener-bener tipis sekali batasan antara fiktif dan tidak, tapi jika cinta yang saya rasa ke RS itu adalah fiktif, maka buat saya tidak ada lagi yang real di dunia ini. Jadi, ”Dear, jika satu saat kau merasa tidak bahagia denganku, maka aku akan siap melepaskanmu. Itu janjiku...”

ini (kira-kira) jawaban ini cerita tentang...
Dia berasal dari dunia nyata. Kemaren sebuah pesannya datang: ini cerita tentang.... Huh, panjang banget, tapi ndak ada isinya, sama sekali! Cinta fiktif, cinta real? Cinta begini! Sudahlah, ngomong sampai berbusa-busa lah sana! Aku tidak percaya. Hentikan saja, jus-mu tidak pernah manis. Hanya di mimpi saja. Sudah ya, sudah, aku capek...Indonesia sudah kalah, jangan kau tambahin dengan kekalahan yang lain lagi.
Baca ini ya!

ini (bukan kira-kira) jawaban ini (kira-kira) jawaban ini cerita tentang...
Akhirnya...maafkan semua salahku ya. Nanti, di kehidupan setelah ini, yang entah benar ada tidaknya, aku akan menjumpaimu, di dusun kasih, di seberang sana, dengan raga yang lebih baik, dengan jiwa yang lebih baik pula, dengan segenggam CINTA KITA! Amin...

No comments: