Pengennya
nulis yang ringan-ringan saja. Maklumlah, dengan kapasitas otak yang pas-pasan,
hari-hari saya sudah penuh dengan kuliah yang padat. Namun apa daya, secara
naluriah, hal-hal ringan tersebut, kok ya ndilalahnya,
tidak nyantol. Ndak ada daya gugahnya alias tidak mampu menggerakkan jari untuk
”menari diatas keyboard laptop.” Jadi, mohon maaf, kalo saya menuliskan hal
yang ”berat”di awal tahun 1435 H. Ini tentang: Bid’ah.
Jengah
rasanya saya mendengar tentang bid’ah. Dengan mudah saya menemukan muslim yang
dengan ”entengnya” men-cap muslim lain -yang adalah saudara- dengan sebutan ahli
bid’ah, hanya karena beribadah dengan cara yang tidak sama dengan yang diyakini
dan dilakukannya.
Tidakkah
para pen-cap itu sadar bahwa orang-orang yang mereka beri stempel ahli bid’ah
itu adalah orang yang juga menyembah ALLAH Ta’ala. Meyakini bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah Rosulullah?
Seringkali
argumen yang diberikan para pen-cap tersebut adalah bahwa ”para ahli bid’ah”
tersebut telah menambah ibadah dan melakukan ibadah tidak seperti yang Nabi
Muhammad ajarkan.
Yang
paling banyak disorot adalah tentang doa kepada mayit. Dikatakan bahwa doa
kepada mayit tidak akan sampai, dan jika melakukannya, salah satunya dengan
Tahlil, maka akan tertolak dan bid’ah. Argumentasinya adalah setiap amalan akan
terputus ketika seorang meninggal. Dan itu tidak pernah dicontohkan oleh
Rosulullah.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa itu bisa ”dibantah” dengan hadits yang menyebutkan bahwa
ada tiga perkara yang tidak akan terputus amalnya, meskipun sudah meninggal,
salah satunya doa anak yang sholih. Tapi ijinkanlah saya melihatnya dari
perspektif pribadi. Menurut saya, doa kepada mayit akan sampai dan didengar
oleh ALLAH Ta’ala. Tidak harus anaknya. Orang lain pun bisa. Dasarnya adalah
sholat jenazah. Tidakkah dalam shalat jenazah kita memanjatkan doa-doa dengan
harapan ALLAH Ta’ala memaafkan segala dosa jenazah, mengasihinya dan
melapangkan kuburnya? Kalo memang tidak sampai, lalu untuk apa kita shalat
jenazah?
Kemudian,
renungkanlah kejadian ini –monggo dicari sendiri haditsnya:
Tahukah,
bahwa bacaan pada Takbirotul Ikhrom (Allahu Akbar Kabiiro, dst) bukanlah
berasal dari Rosulullah, tapi berasal dari salah satu sahabat? Apakah kemudian
Rosulullah memarahi sahabat tersebut dan menyebutnya dengan ahli bid’ah –karena
telah menambahkan bacaan dalam sholat? Tidak!
Contoh
lainnya adalah tentang bacaan pada I’tidal dan tata cara sholat makmum yang
masbuk (tertinggal shalatnya). Diriwayatkan dalam hadits, bahwa bacaaan dan
tata cara inipun bukan berasal dari Rosulullah, namun Rosulullah
mengijinkannya.
No comments:
Post a Comment