Monday, November 18, 2013

My Bike: Ega



Maret 2006
Minggu Pagi, #Halaman Rumah, Kota Depok.
Nang, mbok tuku motor ae. Nge-bis, opo ra kesel?,” kata masku sambil melap lampu Edo –Supra X 125-nya.
”Iyo dik, ben ngancani si Edo. Besok tak liatke brosur motor. Kayake di kantorku lagi ada promo pegawai,” sahut mba iparku yang kebetulan bekerja di Bank.
”Siap, Bos!. Ini juga lagi riset,” jawabku sambil mencabuti rumput.

==
Ega. Juni 2006, dengan mahar 11,130 jt (kredit, hehe) kupinang dia. Kini, sudah lebih setengah tahun dia menemaniku. Mengantarku ke mana hati berkeinginan.

Ega. Dia adalah ”istri” keduaku. Dia ”kunikahi” setelah Ceper -Supra X ’97- ”istri” pertamaku ”resmi meninggal dunia” –damn! Terkutuklah engkau wahai maling!
Si Naga Bonar, Deddy Mizwar, yang mengenalkan kami. Lewat layar kaca tentunya. Kami kemudian berkenalan makin dalam lewat internet. Maklumlah aku tidak ingin ”menikah” dengan sosok yang ga jelas. Pendekatan, riset, itu perlu! Meski kata Si Naga Bonar, spesies Ega itu: Irit, Bandel dan Berkualitas!

Dua bulan aku me-risetnya. Dari Bobot, Bibit sampai Bebet, plus komparasi dengan competitor. Komplit..plit! Pertama, Bobot alias harga. Aku harus berhitung dengan tabungan. Ga lucu, kalo habis beli motor, trus tabungan jebol atau mesti puasa. Ngga banget!. Pilihan jatuh pada 3 jenis motor: Smash, Supra Fit dan Vega a.k.a Ega. Setelah di pilah pilih, mumet! Harganya beti, beda-beda tipis. Berarti harus ada variable turunan lain yang ditambahkan pada Bobot, yaitu harga jual kembali. Artinya jika suatu saat aku BU (Butuh Uang) aku bisa menceraikan istri keduaku ini dengan harta gono-gini yang tidak mengecewakan Dan untuk urusan ini, seperti kata seorang teman yang dekat dengan dunia dealer, ”Ega OK punya!”

Kedua, Bibit a.k.a pabrikan. Smash, Suzuki punya, Supra Fit di-endorse Honda dan Ega oleh Yamaha, sebagai pabrikan Ega, adalah nama besar yang mulai menggoyang dominasi Honda di motor bebek. Hal ini tidak lepas dari kontribusi iklan. Iklan, sebagai strategi above the line, yang menarik, terbukti berhasil membangun awareness tentang Ega (dan Yamaha secara keseluruhan) sekaligus meng-edukasi pasar yang sebelumnya hanya berpatron pada Irit, irit dan irit. Artinya dari segi bibit, Ega lulus dengan nila Cum Laude!

Faktor ketiga adalah Bebet alias kualitas mesin: kecepatan & keiritan. Soal kecepatan, ga terlalu penting. Maklum di Jakarta, mana ada tempat untuk ngebut? So, fokus terarah pada keiritan. Keiritan menjadi penting karena...ehm..tahulah, dengan status staff bin officer, gajiku jelas tidak akan klop jika dipaksa membeli motor yang boros. Komparasi dilakukan. Pembandingnya? Supra Fit (biar apple to apple, sama-sama low end). Hasilnya? Supra Fit berhasil mengalahkan Ega, tapi selisihnya beti. So, for the sake of ngirit, Ega is more than enough.

==
Juli 2009
Dan, sodara sebangsa dan setanah air. Tiga tahun sudah Ega dengan setia menemaniku menerabas belantara Jakarta. Menerobos banjir, mengantarku ke comic café, perpustakaan, taman budaya, ketemu narasumber, nge-mall, nge-date dan riwa-riwi Depok-Mampang in every weekdays.

Dimana ada pertemuan, maka disana ada perpisahan. Hari itu dengan berat hati aku melepas Ega. Alasannya: ganti seragam (pekerjaan-red). Lokasi kerja baru membuatku akan ribet jika harus mengurus perpanjangan STNK. Bai-bai Ega.. I wish your new partner is much better than me!

==
November 2013
Aku berkesempatan menaiki “adiknya Ega”. Adik Ega ini belong to N***. Ah, peduli amat. Pokok-e, selain karena faktor orang yang kubonceng, aku menikmati malam ketika aku mengendarainya.
Ega, baik-baik disana ya. Miss You…!


PS: Maaf ya Ega, baru sekarang aku nulis tentang kamu. Tapi kamu mesti bangga, aku milih nulis tentang kamu, padahal in the next 2 hours aku ada mid exam. Gebleg... ;)

No comments: