Maret 2006
Minggu Pagi, #Halaman
Rumah, Kota Depok.
Nang, mbok tuku
motor ae. Nge-bis, opo ra kesel?,” kata masku sambil melap lampu Edo –Supra X
125-nya.
”Iyo dik, ben
ngancani si Edo. Besok tak liatke brosur motor. Kayake di kantorku lagi ada
promo pegawai,” sahut mba iparku yang kebetulan bekerja di Bank.
”Siap, Bos!. Ini
juga lagi riset,” jawabku sambil mencabuti rumput.
==
Ega. Juni 2006,
dengan mahar 11,130 jt (kredit, hehe)
kupinang dia. Kini, sudah lebih setengah tahun dia menemaniku. Mengantarku ke mana hati berkeinginan.
Ega. Dia adalah ”istri”
keduaku. Dia ”kunikahi” setelah Ceper -Supra X ’97- ”istri” pertamaku ”resmi
meninggal dunia” –damn! Terkutuklah engkau wahai maling!
Si Naga Bonar,
Deddy Mizwar, yang mengenalkan kami. Lewat layar kaca tentunya. Kami kemudian
berkenalan makin dalam lewat internet. Maklumlah aku tidak ingin ”menikah”
dengan sosok yang ga jelas. Pendekatan, riset, itu perlu! Meski kata Si Naga
Bonar, spesies Ega itu: Irit, Bandel dan Berkualitas!
Dua bulan aku
me-risetnya. Dari Bobot, Bibit sampai Bebet, plus komparasi dengan
competitor. Komplit..plit! Pertama, Bobot alias harga. Aku harus berhitung
dengan tabungan. Ga lucu, kalo habis beli motor, trus tabungan jebol atau mesti
puasa. Ngga banget!. Pilihan jatuh pada 3 jenis motor: Smash, Supra Fit dan Vega
a.k.a Ega. Setelah di pilah pilih, mumet! Harganya beti, beda-beda
tipis. Berarti harus ada variable turunan lain yang ditambahkan pada Bobot,
yaitu harga jual kembali. Artinya jika suatu saat aku BU (Butuh Uang) aku bisa
menceraikan istri keduaku ini dengan harta gono-gini yang tidak mengecewakan Dan
untuk urusan ini, seperti kata seorang teman yang dekat dengan dunia dealer,
”Ega OK punya!”
Kedua, Bibit
a.k.a pabrikan. Smash, Suzuki punya, Supra Fit di-endorse Honda dan Ega oleh Yamaha,
sebagai pabrikan Ega, adalah nama besar yang mulai menggoyang dominasi Honda di
motor bebek. Hal ini tidak lepas dari kontribusi iklan. Iklan, sebagai strategi
above the line, yang menarik, terbukti berhasil membangun awareness tentang Ega
(dan Yamaha secara keseluruhan) sekaligus meng-edukasi pasar yang sebelumnya
hanya berpatron pada Irit, irit dan irit. Artinya dari segi bibit, Ega lulus
dengan nila Cum Laude!
Faktor ketiga
adalah Bebet alias kualitas mesin: kecepatan & keiritan. Soal kecepatan, ga
terlalu penting. Maklum di Jakarta, mana ada tempat untuk ngebut? So, fokus
terarah pada keiritan. Keiritan menjadi penting karena...ehm..tahulah, dengan
status staff bin officer, gajiku jelas tidak akan klop jika dipaksa membeli
motor yang boros. Komparasi
dilakukan. Pembandingnya? Supra Fit (biar apple to apple, sama-sama low end). Hasilnya?
Supra Fit berhasil mengalahkan Ega, tapi selisihnya beti. So, for the sake of ngirit, Ega is more than enough.
==
Juli
2009
Dan, sodara sebangsa dan setanah air. Tiga
tahun sudah Ega dengan setia menemaniku menerabas belantara Jakarta. Menerobos
banjir, mengantarku ke comic café, perpustakaan, taman budaya, ketemu
narasumber, nge-mall, nge-date dan
riwa-riwi Depok-Mampang in every weekdays.
Dimana ada pertemuan, maka disana ada
perpisahan. Hari itu dengan berat hati aku melepas Ega. Alasannya: ganti
seragam (pekerjaan-red). Lokasi kerja baru membuatku akan ribet jika harus
mengurus perpanjangan STNK. Bai-bai Ega..
I wish your new partner is much better than me!
==
November
2013
Aku berkesempatan menaiki “adiknya Ega”.
Adik Ega ini belong to N***. Ah, peduli amat. Pokok-e, selain karena faktor orang yang kubonceng, aku menikmati malam
ketika aku mengendarainya.
Ega, baik-baik disana ya. Miss You…!
PS: Maaf ya Ega,
baru sekarang aku nulis tentang kamu. Tapi kamu mesti bangga, aku milih nulis tentang
kamu, padahal in the next 2 hours aku ada mid exam. Gebleg... ;)
No comments:
Post a Comment