Saturday, November 2, 2013

bahu untuk bersandar..

Tulisan ini sepenuhnya terinspirasi dari whatsapp seorang teman, tentang kegundahan hati akan jodoh. Saya tidak mau berandai-andai bahwa beliaunya adalah orang yang sedang gundah karena jodoh. Tidak, itu bukan area saya sodara.
----
Ini kisah sewaktu kuliah
Saya suka sekali dengan cewek yang mandiri. Kesannya tangguh. Tapi, entah kenapa, saya kok yakin 100% bahwa semandiri  dan setangguh apapun, mereka tetaplah mahluk Tuhan yang ”rapuh”. Maka, mantra yang selalu saya sebarkan ke teman-teman cowok saya, adalah ”Dia butuh kamu, Trust Me 101%!”

Sayangnya, tak banyak teman yang percaya. ”Lha wong jelas-jelas cewek tangguh kok dibilang rapuh!”, sungut mereka. ”Coba sik! Sesakti apapun mantra, jika tidak dirapalkan maka dia hanyalah rangkaian kalimat tanpa daya. Makane, kudu dipraktekno,” jawab saya enteng. Namun, sodara, apa balasannya?  ”Lha sampeyan ae buktinya masih jomblo jaya, kok ngajari.” Dezzig... bener juga ya! :D

Ini kisah sekarang
Saya masih percaya bahwa mantra saya adalah benar adanya. Mantra ini logis. Terbukti empiris (eh, bener ga ya? ga yakin juga sih :D )
Bukti konkretnya, adalah.... ehm.. apa ya?
Ehm... ga usah bukti-buktian deh. Baca lanjutannya ini aja ya! :D
++

Buat saya, mandiri dan tangguh itu ga kenal bias jender. Cowok ama cewek sama saja. Kesan tangguh dan mandiri itu adalah ”paksaan naluriah”. Ingat teori Darwin: not the strongest one, but the fittest one-lah yang bakalan survive.

Ahay! Apa hubungannya coba? Ini mungkin sedikit ngawur dan melompat, tapi menurut saya, kemandirian itu adalah bentuk paksaan dari diri manusia sebagai the fittest one karena memang saat itu tidak ada orang lain yang bisa di-sambati (hehehe, sodara, ini bahasa jawa, yang artinya: dimintai tolong). Coba aja, kalo ada yang di-sambati, jamin dah... kagak bakalan setangguh dan semandiri itu!

Buktinya? Ada pada diri Anda sendiri, ketika berada di rumah...

Percayalah, kemandirian dan ketangguhan yang kita bangun dengan pongahnya, meluruh. Luntur, lapis demi lapis, seiring langkah kaki yang mendekat ke rumah. Kenapa rumah? Karena disanalah kasih sayang sejati berada.
Kita, mungkin anak yang tangguh dan mandiri? Tapi dihadapan orang tua? ”Lumer”. Kita jadi anak yang pengen ”dimanja”.
Kita, mungkin orang yang tangguh dan mandiri? Tapi dihadapan suami/istri? ”Tak ada” lagi kemandirian. Di bahu mereka, kita sandarkan kepala.

”Mas, mas.. Saya belum punya pasangan je, njuk piye? Ini kepala masih puyeng cari bahu buat nyender..?”

Mas dan mba yang baik. Menjadi mandiri dan tangguh itu baik dan perlu. Meski demikian, berikanlah jeda. Sesekali kita perlu memperlihatkan sisi rapuh kita pada orang yang kita sayangi. Tidak untuk menjadi lemah tapi agar keberadaan kita untuk mereka dan keberadaan mereka untuk kita menjadi terasa. Nda ada ruginya bukan? Bahkan tidakkah akan terdengar romantis ketika ada seseorang yang bilang,”Aku seneng liat kamu bahagia apalagi kalo bahagianya kamu itu sama aku.” *cie cie cie ;)

Caranya?

Yo, pikiren dewe. Lha kok enak men, opo-opo mesti dikandani :D

#kupikir-pikir, ini apa hubungannya dengan wangsit jodoh dari teman tadi ya? ;)

No comments: