Tulisan ini
sepenuhnya terinspirasi dari whatsapp
seorang teman, tentang kegundahan hati akan jodoh. Saya tidak mau
berandai-andai bahwa beliaunya adalah
orang yang sedang gundah karena jodoh. Tidak, itu bukan area saya sodara.
----
Ini kisah sewaktu kuliah
Saya suka sekali
dengan cewek yang mandiri. Kesannya tangguh. Tapi, entah kenapa, saya kok yakin
100% bahwa semandiri dan setangguh
apapun, mereka tetaplah mahluk Tuhan yang ”rapuh”. Maka, mantra yang selalu
saya sebarkan ke teman-teman cowok saya, adalah ”Dia butuh kamu, Trust Me 101%!”
Sayangnya, tak
banyak teman yang percaya. ”Lha wong
jelas-jelas cewek tangguh kok dibilang rapuh!”, sungut mereka. ”Coba sik! Sesakti apapun mantra, jika tidak
dirapalkan maka dia hanyalah rangkaian kalimat tanpa daya. Makane, kudu
dipraktekno,” jawab saya enteng. Namun, sodara, apa balasannya? ”Lha
sampeyan ae buktinya masih jomblo jaya, kok ngajari.” Dezzig... bener juga ya!
:D
Ini kisah sekarang
Saya masih
percaya bahwa mantra saya adalah benar adanya. Mantra ini logis. Terbukti
empiris (eh, bener ga ya? ga yakin juga
sih :D )
Bukti
konkretnya, adalah.... ehm.. apa ya?
Ehm... ga usah bukti-buktian deh. Baca lanjutannya ini aja ya! :D
++
Buat saya,
mandiri dan tangguh itu ga kenal bias jender. Cowok ama cewek sama saja. Kesan tangguh dan mandiri itu adalah ”paksaan
naluriah”. Ingat teori Darwin: not the
strongest one, but the fittest one-lah yang bakalan survive.
Ahay! Apa hubungannya coba?
Ini mungkin sedikit ngawur dan melompat, tapi menurut saya, kemandirian itu
adalah bentuk paksaan dari diri manusia sebagai the fittest one karena memang saat itu tidak ada orang lain yang
bisa di-sambati (hehehe, sodara, ini bahasa jawa, yang artinya: dimintai tolong).
Coba aja, kalo ada yang di-sambati, jamin
dah... kagak bakalan setangguh
dan semandiri itu!
Buktinya? Ada
pada diri Anda sendiri, ketika berada di rumah...
Percayalah,
kemandirian dan ketangguhan yang kita bangun dengan pongahnya, meluruh. Luntur,
lapis demi lapis, seiring langkah kaki yang mendekat ke rumah. Kenapa rumah?
Karena disanalah kasih sayang sejati berada.
Kita, mungkin
anak yang tangguh dan mandiri? Tapi dihadapan orang tua? ”Lumer”. Kita jadi
anak yang pengen ”dimanja”.
Kita, mungkin
orang yang tangguh dan mandiri? Tapi dihadapan suami/istri? ”Tak ada” lagi
kemandirian. Di bahu mereka, kita sandarkan kepala.
”Mas, mas.. Saya belum punya pasangan je, njuk piye? Ini
kepala masih puyeng cari bahu buat nyender..?”
Mas dan mba yang
baik. Menjadi mandiri dan tangguh itu baik dan perlu. Meski demikian,
berikanlah jeda. Sesekali kita perlu memperlihatkan sisi rapuh kita pada orang
yang kita sayangi. Tidak untuk menjadi lemah tapi agar keberadaan kita untuk mereka
dan keberadaan mereka untuk kita menjadi terasa. Nda ada ruginya bukan? Bahkan tidakkah
akan terdengar romantis ketika ada seseorang yang bilang,”Aku seneng liat kamu
bahagia apalagi kalo bahagianya kamu itu sama aku.” *cie cie cie ;)
Caranya?
Yo, pikiren dewe. Lha kok enak men, opo-opo mesti
dikandani :D
#kupikir-pikir, ini apa hubungannya dengan wangsit jodoh
dari teman tadi ya? ;)
No comments:
Post a Comment